Ilustrasi: BRIN
Ilustrasi: BRIN

BRIN Kembangkan Inovasi Teknologi Digital di Rantai Pasok Makanan

Mohamad Mamduh • 24 Maret 2025 20:12
Jakarta: Sektor pertanian tetap menjadi landasan ekonomi dan sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat Indonesia. Namun dalam memenuhi permintaan pangan secara global, banyak tantangan yang dihadapi seperti variabilitas iklim, optimalisasi sumber daya yang terbatas, dan inefisiensi rantai pasokan.
 
Hal ini disampaikan oleh Puji Lestari, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam sambutannya di acara webinar Agroinfuture #10 yang bertajuk “Smart Monitoring Innovations in Supply Chain Systems of Agroindutry 4.0” yang digelar secara daring pada Kamis 20 Maret 2025. 
 
“Salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi saat ini adalah kehilangan dan pemborosan pangan. Secara global, diperkirakan 30-50% pangan yang diproduksi hilang atau terbuang, yang berdampak pada para ekonom, ketahanan pangan, dan sumber daya alam,” ujarnya.

Lebih lanjut Puji mengungkapkan, saat ini ORPP berupaya membangun smart system pangan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi digital.
 
“Dengan investasi dalam IoT, AI, dan sistem pemantauan pintar, kini kita memiliki perangkat untuk melacak, menganalisis, dan mengoptimalkan setiap tahap rantai pasokan dari satu bentuk ke bentuk lainnya,” ungkapnya.
 
Puji berharap kolaborasi di bidang agroindustri antara pemerintah, pihak industri, peneliti, dan penyedia teknologi dapat terjalin dengan baik, sehingga terbangun sistem aplikasi yang dapat mendorong perubahan kebijakan, serta meningkatkan ketahanan rantai pasokan.
 
“Saya mendorong kita semua untuk terlibat aktif dengan ide ini, mengeksplorasi bagaimana teknologi ini dapat diterapkan di bidang kita masing-masing. Kolaborasi dan berbagi pengetahuan adalah kunci untuk memajukan industri pertanian kita dan membuat dampak yang nyata,” tuturnya.
 
Peneliti ahli Madya dari Pusat Riset Agroindustri BRIN, Sari Intan Kailaku menjelaskan saat ini teknologi digital seperti Internet of Things maupun Artificial Intelligence dapat membantu semua aktivitas yang terjadi dalam mengelola industri pertanian.
 
“IoT atau Internet of Things, AI atau kecerdasan buatan yang bekerja dengan data disebut dengan komputasi, dan semuanya memiliki peran yang berbeda, kita dapat mengintegrasikan teknologi ke dalam smart system, dalam hal ini digunakan untuk memantau aliran ke rantai pasokan sehingga meminimalkan kehilangan pangan dan juga untuk mencegah pemborosan pangan,” jelasnya.
 
Dia pun menjelaskan fokus penelitian yang saat ini dilakukan di Pusat Riset Agroindustri mengarah kepada teknologi digital yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas data, meningkatkan hasil dalam berbagai tujuan penelitian serta menghasilkan teknologi agroindustri yang lebih baik.
 
“Kami memiliki tiga tahap implementasi, untuk jangka pendek yaitu proyek percontohan dan studi kelayakan, kemudian jangka menengah, kami mulai dengan perluasan ke logistik multi-komoditas dan multi-moda, dan dalam implementasi jangka panjang, kami akan mengembangkan ekosistem smart logistik dan diadopsi secara nasional.
 
Dosen Agribisnis Universitas Padjadjaran, Tomy Perdana mengatakan ketertelusuran berbasis teknologi digital seperti blockchain memainkan peran yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi rantai pasokan, memenuhi persyaratan regulasi, dan membangun kepercayaan konsumen. 
 
“Blockchain menggunakan sistem terdistribusi dan buku besar yang tidak dapat diubah untuk memantau perjalanan produk mulai dari produksi hingga ke konsumen. Hal ini memastikan transparansi, keamanan, dan keaslian produk,” ujarnya.
 
Christiam Mendez Lazarte dari Universidad de Lima Peru, mengungkapkan sebagai negara berkembang, Peru dan Indonesia menghadapi tantangan yang sama seperti perubahan iklim, selain itu ketidakmampuan dalam pengelolaan penyimpanan hasil pertanian, menjadi salah satu penyebab tingginya angka kehilangan pangan.
 
“Penyimpanan digital merupakan solusi untuk mengurangi kehilangan pangan di bagian rantai pasokan. Karena penyimpanan digital memiliki informasi terkait suhu, kelembapan, sehingga pemantauan terhadap kondisi produk pertanian menjadi lebih efisien,” ungkapnya.
 
Menurut Christiam, tantangan lain yang dihadapi oleh negara berkembang adalah sulitnya petani skala kecil dalam mengakses teknologi penyimpanan digital, untuk itu diperlukan adanya mediator teknologi, dan disini peran pemerintah sangat diperlukan. 
 
“Dengan mengkoordinasikan sumber daya dan keahlian, mediator menyelaraskan antara ide-ide inovatif dan praktek dilapangan pada aplikasi yang mendasar. Pemerintah, perusahaan besar, dan lembaga penelitian harus berinvestasi dalam pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani kecil,” ujarnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan