ilustrasi.
ilustrasi.

Pemerintah Disarankan Memanfaatkan Frekuensi 2,6GHz untuk 5G

Medcom • 14 Juni 2021 13:15
Jakarta: Pemerintah disarankan memanfaatkan frekuensi 2,6GHz untuk mempercepat jaringan 5G. Frekuensi 2,6 GHz disebut hanya digunakan industri tv berbayar yang tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat dan negara.
 
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, selama ini satelit telekomunikasi masih dijadikan tulang punggung jaringan telekomunikasi khususnya di daerah yang memiliki kondisi geografis yang menantang. Selain itu satelit juga dijadikan backup ketika terjadi gangguan serat optik.
 
"Satelit telekomunikasi tak akan tergantikan oleh jaringan serat optik. Satelit telekomunikasi dijadikan jaringan utama untuk melayani masyarakat di daerah yang sulit dijangkau," kata Heru, Senin, 14 Juni 2021.

Dia menngungkapkan, sebagian orang menganggap satelit telekomunikasi frekuensi 3,5 GHz sudah tidak dibutuhkan dan frekuensinya dapat digunakan untuk layanan 5G.
 
“Pendapat itu tidak tepat. Fungsi dan pemanfaatan satelit harus dilihat secara cermat. Satelit telekomunikasi justru memberi kontribusi besar bagi masyarakat dan negara. Frekuensi 3,5 GHz-4,2 GHz memang bisa untuk 5G. Sebetulnya lebih tepat menggunakan frekuensi 2,6 GHz," ujar Heru.
 
Menurutnya, saat ini frekuensi 2,6 GHz hanya digunakan industri tv berbayar. Pemerintah, kata Heru, memiliki dasar hukum untuk mencabut izin penggunaan frekuensi 2,6 GHz.
 
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 71 mengenai perubahan UU Nomor 36 Tahun 1999 disebutkan, jika penggunaan spektrum frekuensi radio tidak optimal dan/atau terdapat kepentingan umum yang lebih besar, Pemerintah dapat mencabut izin penggunaan spektrum tersebut.
 
Aturan ini, kata Heru juga telah diatur dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri turunan UU Cipta Kerja di sektor telekomunikasi.
 
"Dari sisi teknologi dan ekosistem 5G di 2,6 GHz juga sudah sangat mature. Sehingga frekuensi yang paling mungkin segera dilelang Pemerintah untuk dapat dimanfaatkan layanan 5G adalah di 2,6 GHz yang memiliki lebar pita 190 MHz," terang Heru.
 
Kalaupun Pemerintah tidak mau mencabut izin frekuensi 2,6 GHz sekarang, maka secara administrasi izinnya akan otomatis berakhir pada tahun 2024.
 
"Sebenarnya Pemerintah memiliki dasar kuat menggunakan frekuensi 2,6 GHz untuk layanan 5G, karena hanya satu satelit asing yang numpang berlabuh di Indonesia," kata Heru.
 
Anggota Komisi I Fraksi Golkar DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, geografis Indonesia kepulauan dan pegunungan, peran satelit telekomunikasi frekuensi 3,5 GHz sangat strategis dan dibutuhkan masyarakat.
 
"Selain menjangkau dan memberikan layanan telekomunikasi ke seluruh wilayah, satelit telekomunikasi diperlukan saat terjadi gangguan seperti yang dialami di Papua. Kita tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada kabel optik," kata Bobby.
 
Seperti diketahui PT Telkom Indonesia masih mengebut perbaikan kabel serat optik Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) ruas Biak - Jayapura. Telkom menyiapkan backup link dengan kapasitas 4,7 Gbps.
 
Dari jumlah tersebut 2.662 Mbps ditunjang dari pemanfaatan link satelit. Backup link sebesar 500 Mbps didapat dari radio long haul, dari Palapa Ring Timur sebesar 500 Mbps serta dari radio long haul Sarmi - Biak sebesar 1,6 Mbps.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan