AiDEA Weeks 2025 menyoroti seni, musik, dan budaya di era AI lewat diskusi mendalam tentang kreativitas, hak cipta, serta pelestarian tradisi Indonesia.
AiDEA Weeks 2025 menyoroti seni, musik, dan budaya di era AI lewat diskusi mendalam tentang kreativitas, hak cipta, serta pelestarian tradisi Indonesia.

AiDEA Weeks 2025

Menyimak Perubahan Besar Seni, Musik, dan Budaya di Era Kecerdasan Buatan

Lufthi Anggraeni • 15 November 2025 10:03
Jakarta: Pekan kedua AiDEA Weeks 2025 resmi berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, dengan fokus pada seni visual, musik, serta pelestarian budaya di tengah perkembangan kecerdasan buatan.
 
Setelah pekan pertama menyorot masa depan pekerjaan serta produksi kreatif, pekan ini membuka dialog lebih mendalam tentang bagaimana teknologi mempengaruhi identitas artistik, nilai budaya, hingga posisi manusia dalam proses penciptaan.
 
Forum publik bertema Embracing The New Age of AI ini menghadirkan berbagai akademisi, seniman, musisi, hingga praktisi budaya untuk menjabarkan dinamika saat teknologi bertemu ekspresi kreatif.

"Di Kementerian Kebudayaan, posisi kami jelas. Kami ingin AI mendukung pemajuan kebudayaan, bukan menggantikan budayawan dan seniman. AI harus menjadi alat yang bisa digunakan oleh masyarakat, bukan sesuatu yang membuat mereka kehilangan identitas budaya," ujar Wakil Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Giring Ganesha Djumaryo dalam sambutan pembukaan.
 
Sesi pertama, Artificial Intelligence, Between Arts & Crafts, menyorot isu besar di dunia seni visual. Kemampuan AI menghasilkan karya dalam hitungan detik menciptakan efisiensi, namun juga memicu kekhawatiran soal orisinalitas.
 
Survei Design and Artists Copyright Society (2024) pada lebih dari seribu seniman menunjukkan keresahan kuat terkait penurunan nilai karya, isu hak cipta, serta penggunaan karya artis tanpa izin untuk pelatihan model.
 
Studi Lovato et al. (2024) menambahkan tuntutan transparansi proses pelatihan data serta penolakan terhadap keuntungan komersial tanpa kontribusi manusia. Fenomena seperti Ghiblification dan gugatan hukum Warner Bros. terhadap Midjourney memperlihatkan batasan etika serta hukum yang masih terus diuji.
 
Kantor Hak Cipta Amerika Serikat pada 2025 bahkan menegaskan bahwa karya hasil AI sepenuhnya tanpa sentuhan kreatif manusia tidak bisa memperoleh perlindungan hak cipta. Moderator Mahaputra Wikandhitya memandu diskusi bersama dua narasumber utama.
 
Rato Tangela menyampaikan pandangan optimistis bahwa AI bisa menjadi partner kreatif, bukan sekadar alat. Ia memandang mesin mampu memberi umpan balik objektif serta membantu eksplorasi konsep.
 
Di sisi lain, Eddy Sukmana mengungkap pemikiran tentang pergeseran nilai kreativitas ketika mesin dapat meniru gaya visual secara instan. Menurutnya, semakin luas fungsi AI di kehidupan, semakin besar pula nilai karya konvensional.
 
Sesi kedua mengangkat tema AI for Better Cultural & Traditional Awareness. Founder Lotus / Curawada Tech Azhar Muhammad Fuad serta Akademisi AI Nusantara Gustav Anandhita membahas peluang besar teknologi dalam mengarsipkan manuskrip kuno, menerjemahkan teks tradisi, hingga menciptakan simulasi interaktif untuk memperkenalkan budaya pada generasi muda.
 
Meski begitu, berbagai kekhawatiran tetap muncul. Survei UNESCO (2023) menunjukkan isu terkait orisinalitas, kepemilikan, dan homogenisasi budaya sebagai faktor besar resistensi pelaku budaya. Konteks Indonesia membuat tantangan semakin kompleks karena pelestarian tradisi sering terkait nilai spiritual serta sejarah panjang.
 
Gustav menilai AI dapat menjadi medium hidup bagi para tokoh serta cerita masa lalu. Menurutnya, teknologi bekerja layaknya penerjemah raksasa yang memfasilitasi kolaborasi lintas era. Sesi penutup bertajuk Music Meets Machine: AI in the Music Industry membahas dinamika industri musik global.
 
AI kini mampu membuat melodi, meniru suara musisi, hingga memproduksi lagu secara utuh. Lembaga musik besar seperti SACEM dan GEMA mencatat 71% musisi takut kehilangan pendapatan akibat pergeseran ekonomi kreatif pada teknologi.
 
Kekhawatiran meningkat setelah lebih dari 200 musisi dunia, termasuk Billie Eilish, Stevie Wonder, dan Dua Lipa, menandatangani surat terbuka untuk menolak praktik predatory AI. Meski demikian, sisi optimistis tetap ada.
 
Survei Ditto Music (2023) menunjukkan 59,5% musisi independen sudah memanfaatkan AI untuk mixing, mastering, serta penulisan lirik. Tren itu juga muncul di Indonesia, antara lain melalui fitur eksplorasi lirik di Trebel Music.
 
Musician Manager Noor Kamil dan Hip Hop Artist Tuan Tigabelas memberikan perspektif lapangan. Noor menilai AI sangat membantu proses kreatif, terutama pada tahap awal produksi. Ia menegaskan bahwa pemikiran kritis tetap menjadi inti pembuatan musik, karena teknologi hanya berfungsi sebagai asisten. Diskusi berlangsung dengan moderasi dari jurnalis musik Shindu Alpito.
 
AiDEA Weeks 2025 terus menegaskan perannya sebagai forum inklusif untuk memahami era baru kecerdasan buatan. Dengan rangkaian diskusi, pameran, serta demonstrasi teknologi, acara ini mendorong adopsi AI yang bertanggung jawab serta berpihak pada masyarakat.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan