Seiring dengan itu, penetrasi komputasi awan di Indonesia diperkirakan akan tumbuh hingga 75 persen, didorong oleh permintaan transformasi digital di sektor publik dan swasta.
Namun, adopsi cloud juga menghadirkan tantangan, seperti ketergantungan pada infrastruktur IT lama, biaya platform virtualisasi tradisional yang tinggi, isu kedaulatan dan kepatuhan data, serta kebutuhan akan infrastruktur terdistribusi untuk mendukung workload modern seperti AI dan IoT.
Untuk menjawab tantangan ini, Rakuten Symphony, bekerja sama dengan integrator sistem nasional PT Alita Praya Mitra, menggelar seminar bertajuk "Resilient Edge Computing for Data Sovereignty & Modern AI Workloads" di Jakarta.
Acara ini dihadiri oleh berbagai stakeholder di industri teknologi, termasuk Dirjen Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Edwin Hidayat Abdullah, dan Direktur Kecerdasaan Artifisial dan Ekosistem Teknologi Baru Komdigi, Aju Widya Sari.
Dalam sesi diskusi panel, Edwin Hidayat Abdullah menekankan pentingnya keadilan dalam pembangunan ekonomi digital. "Pembangunan ekonomi digital juga harus mengusung azas berkeadilan. Jangan sampai hanya new tech saja tapi tidak ada insentif untuk data center atau infrastruktur," ujarnya.
Teguh Prasetya, Presiden Direktur Alita dan Ketua Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI), menyatakan bahwa Alita kini fokus memperkuat platform edge, IoT, dan solusi cerdas untuk sektor pemerintah, manufaktur, dan layanan publik. "Kami percaya kemitraan dengan Rakuten akan mempercepat adopsi cloud-native dan edge AI secara lebih luas," tegasnya.
Global Head of Sales, Rakuten Symphony Inc, Udai Kanukolanu, menjelaskan bahwa Rakuten berupaya mempercepat adopsi layanan digital di Indonesia dengan menggabungkan keahlian dan infrastruktur lokal Alita dengan inovasi global dari Rakuten Symphony, OSS, dan open RAN.
"Inisiatif ini sejalan dengan visi Indonesia tentang pemberdayaan digitalisasi di masa depan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi," ujarnya.
SVP Rakuten Cloud, Anirban Chakravartti juga menyoroti kebutuhan mendesak akan edge computing dan AI di era kecepatan data dan tuntutan regulasi.
"Rakuten mendesain infrastruktur cloud-native yang mampu menjalankan workload AI di edge, dengan orkestrasi otomatis dan keamanan berlapis," jelasnya. Anirban juga mengungkapkan bahwa 83 persen organisasi berencana untuk menjalankan AI/ML di lokasi fisik untuk meningkatkan efisiensi operasional.
Kedaulatan data juga menjadi perhatian utama dalam diskusi ini. Prof Dr Hammam Riza, Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), menekankan urgensi membangun infrastruktur yang mendukung kedaulatan data.
"Dengan edge-native cloud yang dikembangkan secara lokal, kita bisa pastikan AI dan data digital melayani kepentingan bangsa, bukan sekadar menjadi konsumen dari solusi luar negeri," ujarnya. Hammam juga menyoroti isu pelanggaran data dan ancaman keamanan dalam pemanfaatan AI.
Seminar ini juga menghadirkan pimpinan Lintasarta dan XL Smart untuk membahas roadmap sovereign cloud, integrasi kontainer dan VM dalam satu platform Kubernetes, serta strategi hibrida yang bisa diterapkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News