Sementara itu, sekitar 75 persen responden mengatakan bahwa mereka masih melihat keadaan seebelun memutuskan untuk melakukan transformasi digital atau bahkan menganggap transformasi digital tidak penting.
"Hanya 25 persen responden yang menganggap ini sebagai peluang dan tantangan dan memiliki strategi untuk itu," ujar Country Manager Cisco Indonesia, Budi Santoso Sutanto. Dia mengatakan, di Indonesia, persentase ini mungkin justru lebih kecil lagi.
Budi bercerita, pada awalnya, perusahaan Indonesia merasa transformasi digital baru akan mempengaruhi Indonesia dalam waktu 3-4 tahun ke depan. Namun, setelah adanya Go-Jek dan masuknya layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Uber dan Grab, perusahaan mulai sadar bahwa disrupsi akibat teknologi juga mulai terjadi di Indonesia.
Sektor bisnis yang paling cepat mengadopsi transformasi digital, menurut Budi adalah sektor e-commerce. Hal ini didukung oleh kebiasaan sebagian masyarakat, yang mulai enggan untuk berbelanja offline. Sektor lain yang juga aktif melakukan transformasi digital adalah industri keuangan.
Meski tidak menyebutkan nama, Budi mengatakan bahwa para pelaku retail yang melakukan penjualan dengan membuka toko fisik, mulai mengalami penurunan penjualan karena adanya berbagai e-commerce yang muncul.
"Sebenarnya, industri finansial sudah melakukan transformasi digital cukup lama. Jika dulu mereka membuat internet banking, sekarang mereka fokus ke aplikasi mobile," kata Budi. "Bagaimana agar layanan yang sama bisa diakses melalui smartphone."
Saat hendak melakukan transformasi digital, ada 3 unsur yang harus diperhatikan: people, process dan technology. Menurut Budi, di Indonesia, teknologi yang ada sudah memadai. Namun, yang sering menjadi masalah, bahkan pada perusahaan multinasional sekalipun, adalah pada people dan process.
Dia menceritakan, meskipun perusahaan telah menyediakan cara yang lebih modern untuk melakukan sesuatu -- misalnya, untuk mengambil cuti, seorang karyawan dapat meminta izin via sistem tanpa harus mengisi formulir cetak lagi -- karyawan cenderung tetap menggunakan cara lama.
"Itu hanya bisa diatasi jika ada wisdom dari atas. Misalnya, kalau mau cuti, kita enggak terima lagi formulir pengajuan hard copy, harus lewat sistem. Kalau enggak, enggak bisa cuti," ujar Budi.
Sayangnya, tidak semua pemimpin perusahaan merasa transformasi digital itu penting untuk dilakukan. "Biasanya, mereka belum merasa transformasi digital itu penting karena belum ada ancaman, penjualan masih oke, market share masih oke," ujar Budi.
"Mungkin mereka lupa, kalau perusahaan yang tadinya nomor satu, sekarang ada yang malah tidak ada lagi di daftar." Dia mencontohkan Nokia dan BlackBerry, yang sempat merajai pasar ponsel, tapi kemudian terdesak oleh keberadaan iPhone dan smartphone Android.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News