Dalam paparannya, General Manager dan Technology Leader IBM ASEAN Catherine Lian menjelaskan bahwa ASEAN memasuki periode krusial terkait kebijakan energi. Pada bulan Oktober lalu, Menteri Energi ASEAN menyetujui ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation 2026–2030, menargetkan pangsa energi terbarukan sebesar 30%.
ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation 2026–2030 juga menargetkan kapasitas pembangkit berbasis energi terbarukan sebesar 45% pada tahun 2030. Target ambisius ini menempatkan utilitas regional pada tekanan besar untuk memodernisasi sistem lama, mendigitalkan operasi, dan meningkatkan ketahanan jaringan.
“Asia Tenggara memasuki fase penting transformasi energi, dan teknologi kecerdasan buatan (AI) menjadi kunci untuk meningkatkan keandalan serta memenuhi lonjakan permintaan listrik. Perubahan iklim, digitalisasi, dan tekanan geopolitik menuntut modernisasi cepat melalui smart grid dan manajemen aset berbasis data. CEO kini menempatkan AI sebagai pendorong utama inovasi dan produktivitas. Dengan AI, utilitas dapat membangun sistem energi lebih tangguh dan berkelanjutan,” ujar Lian.
Menurut data International Energy Agency (IEA), Asia Tenggara diprediksi menyumbang 25% dari pertumbuhan permintaan energi global pada tahun 2035, menjadikannya kawasan dengan laju kenaikan permintaan tertinggi kedua setelah India.
Kondisi ini menuntut perusahaan energi untuk mempercepat inovasi di tengah perubahan lanskap energi akibat risiko iklim, digitalisasi, dan dinamika geopolitik. Lian menekankan bahwa risiko iklim ekstrem kini menjadi ancaman nyata bagi infrastruktur energi, terutama di wilayah pesisir.
Tekanan ini mendorong percepatan adopsi sistem rendah karbon dan solusi energi yang lebih tahan terhadap perubahan cuaca. Perubahan demografi seperti urbanisasi dan meningkatnya kelas menengah juga mempengaruhi pola konsumsi listrik, terutama kebutuhan pendinginan di tengah meningkatnya suhu global.
Berdasarkan laporan IEA, emisi CO2 terkait energi di Asia Tenggara diperkirakan naik 35% pada pertengahan abad ini. IBM juga memaparkan hasil survei terbaru terhadap CEO dan COO di ASEAN. Data menunjukkan bahwa 63% CEO mengaku kini lebih berani mengambil risiko dibanding kompetitor demi mempertahankan keunggulan.
Mereka menyadari bahwa keunggulan tidak lagi dapat bertumpu pada kepemilikan infrastruktur atau efisiensi operasional semata, melainkan pada inovasi yang dipacu teknologi. Selain itu, 57% CEO menyatakan organisasi mereka telah mengadopsi AI agent dan siap menerapkannya secara luas.
Kesiapan ini sejalan dengan transformasi digital di bidang data, cloud, dan pengembangan talenta digital. AI dinilai akan berperan besar dalam lima area inti utilitas, yaitu layanan pelanggan, manajemen gangguan, perkiraan beban, optimalisasi tenaga kerja, serta tren energi.
Sementara itu, 61% CEO meyakini bahwa potensi produktivitas dari otomatisasi dan AI begitu besar sehingga mereka bersedia menerima risiko signifikan demi menjaga daya saing. Utilitas yang menghadapi tantangan infrastruktur tua dan permintaan yang meningkat memandang AI sebagai solusi penting untuk menjaga tarif tetap terjangkau sekaligus memenuhi target keberlanjutan.
Lian menjelaskan bahwa AI memberi tiga dampak utama bagi utilitas, salah termasuk 10% peningkatan efisiensi energi, melalui optimasi pembangkitan, penyimpanan, dan pengiriman energi, serta 10% peningkatan keandalan layanan, karena AI mampu memprediksi kerusakan dan mendeteksi anomali lebih awal.
Selain itu, AI juga memberikan dampak pada utilitas berupa 11% percepatan respon insiden, melalui otomatisasi deteksi gangguan, analisis kerusakan berbasis drone, dan dispatch lebih cerdas. Manfaat tersebut menghasilkan waktu pemulihan lebih cepat, pengurangan rugi daya, dan tingkat kepuasan pelanggan lebih tinggi.
Dalam sesi tersebut, IBM memaparkan berbagai contoh implementasi AI di kawasan, termasuk Hibiscus Petroleum di Malaysia yang menggunakan IBM Maximo untuk manajemen aset berbasis AI, serta Meralco PowerGen di Filipina yang mengadopsi Maximo Application Suite untuk pengelolaan aset penting.
Contoh lainnya yaitu PLN Icon Plus di Indonesia yang memanfaatkan Maximo untuk meningkatkan keandalan operasional, Energy Market Company di Singapura yang menggunakan IBM Power untuk menjaga performa pasar listrik mereka, serta Cirebon Power di Indonesia yang mengintegrasikan Maximo dalam transformasi digitalnya.
IBM juga menyoroti penggunaan drone, sensor, serta model AI untuk inspeksi infrastruktur, prediksi pertumbuhan vegetasi di sekitar jaringan transmisi, dan pemantauan aset secara real-time, langkah yang terbukti menekan biaya inspeksi sekaligus meningkatkan keselamatan pekerja.
Lian menutup presentasinya dengan menegaskan bahwa ASEAN berada di titik kritis dalam evolusi sistem energi. Dengan infrastruktur yang menua, permintaan yang terus meningkat, serta risiko iklim yang semakin rumit, adopsi AI bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan strategis untuk menciptakan sistem energi yang aman, efisien, dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News