Survei global McKinsey 2023 memprediksi hampir 40% jam kerja berpotensi terotomatisasi pada 2030, sebuah sentimen yang diamini oleh 62% masyarakat Indonesia yang khawatir pekerjaan mereka digantikan AI, hampir dua kali lipat dari rata-rata global. Tantangan ini bukan hanya soal teknologi, melainkan identitas, memaksa para profesional membuktikan nilai diri dengan cara yang tak bisa ditiru AI.
Lantas, apa yang membuat seseorang tak tergantikan di era otomasi ini? Jawabannya bukan semata pada penguasaan teknologi, melainkan pada pengembangan keterampilan kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu: ketajaman penilaian etika, kemampuan pemecahan masalah kreatif, kecerdasan emosional, adaptabilitas, dan misi pribadi yang jelas.
Menurut Dr. Jorge Calvo, Wakil Dekan GLOBIS University, pemimpin masa depan adalah mereka yang mampu mengombinasikan kecakapan digital dengan visi dan kebijaksanaan yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan, sebuah konsep yang disebut "augmented leadership".
Calvo mengidentifikasi tiga kemampuan utama pemimpin tangguh di era AI:
Mengorkestrasi Kolaborasi antara Manusia dan AI: Pemimpin perlu merancang organisasi di mana manusia dan AI bekerja secara sinergis, menemukan keseimbangan antara efisiensi dan empati untuk inovasi yang bermanfaat bagi bisnis dan masyarakat.
Memimpin dengan Tujuan dan Etika: Teknologi mempercepat keputusan, namun moralitas tidak. Pemimpin harus memiliki kompas moral, menanamkan pandangan etis, tanggung jawab, dan visi jangka panjang dalam memanfaatkan AI.
Menginspirasi Transformasi: Kepemimpinan di era AI bukan adaptasi pasif, melainkan aktif membentuk perubahan, menumbuhkan kreativitas, ketangguhan, dan kecerdasan lintas budaya untuk menggerakkan tim menuju visi yang bermakna.
Keterampilan ini bukan sekadar soft skills generik, melainkan kapasitas kepemimpinan tingkat lanjut yang kini menjadi agenda pembelajaran modern. Menguasai hal ini membutuhkan proses belajar terarah, dan program MBA menjadi salah satu format paling efektif untuk pertumbuhan berorientasi masa depan, menawarkan refleksi, ketangguhan, dan pengasahan kapabilitas manusiawi.
GLOBIS University, didirikan oleh pengusaha Jepang Yoshito Hori pada 1992, menjawab kebutuhan ini dengan memadukan pendidikan bisnis praktis dengan misi mendalam untuk membentuk pemimpin visioner. Dua pilar unik GLOBIS—Technovate (perpaduan teknologi dan inovasi) dan Kokorozashi (pencarian misi pribadi)—membantu profesional menyelaraskan ambisi dengan makna.
Yanuar Kurniawan, People Development dan Learning Director di industri teknologi kecantikan dan FMCG, alumnus GLOBIS, mengungkapkan bagaimana kampus ini membantunya menemukan kokorozashi atau tujuan hidupnya, yaitu membantu orang lain menjadi versi terbaik dari diri mereka. Senada dengan itu, Adhi Suria Saputra, alumnus lainnya, menyoroti bagaimana mindset Technovate membentuk kepemimpinannya, memperluas perspektifnya tentang era digital.
Dengan komunitas mahasiswa non-Jepang terbesar di GLOBIS, termasuk 11 mahasiswa yang akan memulai Program MBA 2025, Indonesia menjadi pasar penting. GLOBIS berkomitmen memperluas kehadirannya di Indonesia untuk memberdayakan pemimpin muda menavigasi salah satu ekonomi digital paling dinamis di dunia.
Visi ini akan dipresentasikan langsung oleh Yoshito Hori, Presiden GLOBIS, dalam acara President Seminar pada 15 Oktober mendatang, sebuah kesempatan bagi profesional Indonesia untuk menggali kepemimpinan berbasis tujuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id