Namun, terlihat ada peningkatan pengguna seluler yang mendapatkan akses ke layanan WiFi di berbagai tempat di Indonesia dan menghabiskan lebih banyak waktu terhubung ke layanan fixed broadband. Dapat dilihat terjadinya perubahan waktu yang dihabiskan untuk WiFi, yang telah meningkat dari 33% pada kuartal ke-1 2022 menjadi 37% pada kuartal ke-3 2024 secara nasional.
Ketergantungan terhadap layanan WiFi juga sangat bervariasi di seluruh negeri. Pengguna di beberapa kabupaten di Indonesia menunjukkan kurang dari 30% waktu terhubung ke WiFi, terutama di Sumatera, Sulawesi atau di Kepulauan Maluku. Dilain pihak, di banyak kabupaten di Jawa Timur, tercatat persentase waktu yang sangat tinggi di WiFi, seringkali melebihi 50%. Dengan demikian, akses ke konektivitas internet fixed broadband yang handal menjadi semakin penting di Indonesia.
ISP lokal terkadang memang dapat menawarkan pendekatan yang lebih lokal atau berfokus pada pelanggan lokal, tetapi keunggulan skala dan infrastruktur sering membuat ISP skala besar menjadi pilihan yang lebih baik untuk layanan internet yang lebih cepat dan lebih handal, dan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan digital Indonesia yang terus meningkat.
Kota-kota kecil serta daerah pedesaan akan memiliki kesenjangan yang membesar antara kedua segmen ini. Kualitas konektivitas pedesaan yang tidak konsisten dapat menghambat pembangunan ekonomi di daerah-daerah ini. Peningkatan infrastruktur broadband di daerah pedesaan akan mendorong produktivitas, membuka peluang baru, dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi di seluruh Indonesia.
Tingkat konektivitas internet yang layak di daerah pedesaan dapat meningkatkan produktivitas dan membuka peluang kerja dan pendidikan baru bagi masyarakat lokal, juga dapat mempersempit kesenjangan sosial ekonomi antara wilayah Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tertarik untuk menetapkan kecepatan fixed broadband minimum di angka 100Mbps, untuk mengejar ketinggalan dengan pasar Asia Tenggara lainnya dalam hal kualitas layanan fixed broadband. Sejumlah ISP skala besar siap menawarkan tingkat kecepatan seperti itu, setidaknya untuk sebagian populasi.
Seperti yang ditunjukkan oleh analisis, pengguna fixed broadband yang berlangganan ISP lokal di Indonesia menerima Kualitas Layanan (QoS) dan Kualitas Pengalaman (QoE) yang lebih rendah, sebagaimana diukur dengan Kualitas Konsistensi Broadband.
Mencapai kecepatan unduh 100Mbps akan menjadi tantangan besar bagi ISP lokal, terutama ketika mereka masih berjuang untuk memenuhi ambang batas minimum 5Mbps, yang hanya merupakan kecepatan “cukup baik” untuk sebagian besar aplikasi umum dan beberapa kasus penggunaan.
"Fokus untuk memberikan QoS dan QoE yang tinggi adalah penting untuk pertumbuhan digital Indonesia. Konektivitas yang andal merupakan salah satu penggerak pembangunan ekonomi dan sosial, dan jika tidak dilakukan, ada kemungkinan negara ini akan tertinggal dari negara-negara sekitar," ungkap OpenSignal.
ISP yang lebih kecil, termasuk reseller dan penyedia jasa internet tanpa lisensi, memang dapat menawarkan opsi yang lebih terjangkau, tetapi sering menghadapi kesulitan dalam memberikan kualitas layanan yang dibutuhkan, terutama di daerah pedesaan. Memastikan layanan yang terjangkau, tetapi berkualitas tinggi tetap penting untuk pembangunan digital berkelanjutan.
Kominfo mencatat ada lebih dari 1.300 ISP di Indonesia, akan tetapi daftar ini tidak mencakup penyedia yang beroperasi tanpa lisensi, sehingga jumlah pemain lokal kecil kemungkinan akan jauh lebih besar. Dinamika ini dapat mempersulit upaya untuk meningkatkan pengalaman fixed broadband di Indonesia, karena dapat mengurangi insentif bagi ISP skala besar dalam berinvestasi untuk infrastruktur yang lebih modern.
"Memastikan bahwa semua penyedia layanan memenuhi standar kualitas minimum, sambil menyeimbangkan keterjangkauan merupakan hal yang penting untuk mendorong pengembangan broadband di Indonesia."
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News