Bubble dalam konteks ini merujuk pada situasi di mana nilai perusahaan atau ekspektasi terhadap sebuah aset, dalam hal ini, teknologi AI, melonjak jauh di atas nilai intrinsiknya. Jika realitas di lapangan tidak mampu mengikuti hype, bisa terjadi pecahnya gelembung atau penurunan nilai secara drastis, kerugian besar, serta dampak sistemik terhadap perekonomian.
Dalam sebuah wawancara, CEO OpenAI, Sam Altman, bahkan mengakui bahwa banyak aspek di dunia AI saat ini tampak terlalu membesar, menandakan bahwa hype bisa melampaui realita. Gelombang investasi dan kegairahan terhadap AI memang tidak bisa dipungkiri.
Banyak perusahaan, dari startup sampai raksasa teknologi, berlomba-lomba menanam modal besar di infrastruktur, riset, dan pengembangan teknologi AI. Hal ini menimbulkan harapan tinggi bahwa AI bakal menjadi motor transformasi ekonomi global.
Namun, menurut pengamat, ekspektasi dan optimisme tersebut saat ini berjalan lebih cepat daripada kemampuan teknologi, adopsi nyata, atau model bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan berkelanjutan.
Dalam banyak kasus, perusahaan AI dihargai sangat tinggi di pasar karena antisipasi masa depan, bukan karena pendapatan atau profit yang sudah konkret. Nilai perusahaan jadi melambung, tetapi profitabilitas sering belum jelas, bahkan bisa sangat rapuh.
Inilah inti dari istilah AI bubble, yaitu valuasi tinggi yang belum didukung fundamental kuat. Menurut sejumlah analis, ada beberapa indikator bahwa saat ini gelombang AI memiliki karakteristik gelembung ekonomi klasik.
Salah satu karakteristik tersebut adalah investasi besar dan bertubi-tubi di sektor AI dengan belanja infrastruktur, data center, serta R&D AI, meskipun banyak perusahaan belum menghasilkan profit konsisten.
Selain itu, karakteristik lainnya yaitu valuasi perusahaan AI sangat tinggi, kadang tidak sebanding dengan pendapatan atau arus kas nyata, serta ekspektasi berlebihan terhadap prospek dan dampak AI dalam jangka pendek, banyak klaim ambisius, padahal adopsi di industri dan masyarakat sering berjalan lambat.
Gelombang AI juga memiliki karakteristik ketergantungan besar pada pendanaan eksternal, utang, dan hype pasar untuk mendukung operasional, bukan pada model bisnis yang sudah stabil. Karena itu, sejumlah ekonom memperingatkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut tanpa akhiran nyata, yaitu profit, kasus penggunaan AI nyata, dan adopsi luas, maka risiko pecah gelembung semakin besar.
Sebagai informasi, ada beberapa potensi dampak serius jika gelembung ini pecah, salah satunya yaitu kerugian besar bagi investor dan perusahaan. Saham perusahaan AI bisa jatuh tajam, investasi pun merugi. Hal ini bisa mengguncang sektor teknologi secara luas.
Selain itu, banyak proyek pengembangan AI yang bisa dibatalkan, terutama yang mengandalkan dana dari investor spekulatif atau utang. Sementara itu, jika ekspektasi terlalu tinggi tapi hasil tak sebanding, kepercayaan terhadap teknologi AI bisa terganggu dan adopsi massal jadi melambat.
Tidak hanya itu, karena banyak perusahaan dan dana investasi terlibat, kejatuhan bisa berdampak ke sektor lain, termasuk ke investor ritel, startup, dan bahkan ekonomi global. Bagi pelaku industri dan startup, saat ini, penting bagi perusahaan untuk membangun model bisnis realistis dan berkelanjutan, bukan hanya mengandalkan hype atau prediksi masa depan.
Fokus dapat diletakkan pada solusi nyata, manfaat langsung, dan penggunaan AI yang terbukti. Sementara itu, investor diimbau untuk bijak dalam menilai nilai perusahaan AI dan tidak terlena oleh antusiasme atau hype masyarakat.
Investor juga dianjurkan untuk memperhatikan neraca keuangan, pendapatan nyata, serta prospek jangka panjang, serta menghindari untuk ikut-ikutan secara membabi buta hanya karena FOMO. selain itu, kebutuhan regulasi, transparansi, dan evaluasi manfaat AI menjadi penting agar teknologi ini tidak sekadar sensasi tetapi benar-benar membawa manfaat sosial ekonomi jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News