“Asosiasi ini diharapkan mampu menjadi wadah berkumpulnya para ahli dan talenta di bidang forensik digital untuk menangani tindak pidana siber yang semakin marak di Indonesia,” jelas Rudiantara.
Menurut Rudiantara, TIK di Indonesia berkembang pesat, sehingga perlu diimbangi dengan kemampuan forensik digital. Kementerian Kominfo mendukung baik pembentukan Asosiasi Forensik Digital Indonesia, mengingat jumlah personil ahli forensik digital yang terbatas, sedangkan kasus cyber crime di Indonesia sangat banyak.
"Sehingga kita perlu untuk mengembangkan dan memajukan forensik digital untuk mengungkap tindak kriminal siber di Indonesia," jelas Rudiantara.
Kepolisian Republik Indonesia belum lama ini menangkap 113 orang asing dari Taiwan dan China terkait cyber crime. Menurut Kabareskrim, Kompol Anang Iskandar, kasus siber banyak melibatkan orang asing dan menimbulkan kerugian material yang tidak sedikit, di seluruh eropa kerugian terkait kejahatan siber mencapai 24 triliun.
“Kejahatan siber sendiri mirip fenomena gunung es yang perlu disikapi dengan serius. Diperlukan asosiasi untuk mendukung penyidikan tindak pidana siber,” ungkapnya.
Dirjen Aplikasi Informatika Bambang Heru Tjahjono menyatakan Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang serta ancaman pidananya.
“UU ITE mengatur bukti digital, dimana bukti digital dianggap sah dan dapat diajukan ke persidangan selama informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan,” jelasnya.
Lebih lanjut Kasubbid Komputer Forensik Puslabfor Mabes POLRI M. Nuh Al-Azhar menerangkan bahwa pembentukan Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI) bertujuan menghimpun dan mengkoordinir para analis dan peminat forensik digital dalam suatu wadah untuk memberikan edukasi dan sosialisasi tentang forensik digital kepada masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News