Ilustrasi
Ilustrasi

Memastikan Asia Tenggara Tidak Ketinggalan Soal AI

Mohamad Mamduh • 14 April 2024 14:22
Jakarta: Kecerdasan artifisial atau AI menjadi pusat perhatian pada Pertemuan Menteri Digital ASEAN (ADGMIN) ke-4 yang diadakan di Singapura baru-baru ini. Pertemuan tersebut menghasilkan pedoman baru tentang Tata Kelola dan Etika AI, yang mempertegas peran ASEAN dalam pengembangan AI di seluruh kawasan, serta memastikan pengguna dan pelaku usaha tidak tertinggal dari negara-negara lainnya.
 
Pedoman ini membentuk kerangka kerja bagi pelaku usaha yang ingin merancang, mengembangkan, dan menerapkan AI. Pelaku usaha di Asia Tenggara sekaligus mendapatkan landasan yang jelas dalam mendesain AI, termasuk karakteristik apa saja yang perlu dimiliki AI tersebut, antara lain Mudah Dijelaskan (Explainability), Keadilan (Fairness), Ketahanan (Robustness), dan Akuntabilitas (Accountability).
 
Ada alasan bagus di baliknya. Studi terbaru oleh konsultan manajemen Kearney memperkirakan bahwa adopsi AI di Asia Tenggara dapat menambah sekitar 1 triliun dolar AS ke PDB kawasan hanya dalam kurun waktu lima tahun. Akan tercipta peluang ekonomi yang masif bagi perusahaan-perusahaan kecil maupun besar di Asia Tenggara, tetapi penting untuk diingat bahwa peluang ini tidak akan tercapai dengan begitu saja.

Meski demikian, banyak dari perangkat yang digunakan untuk membangun dan mengontrol AI mungkin dikembangkan dengan masukan terbatas dari pengguna dan perwakilan dari kawasan ini. Hingga saat ini, belum ada kesepakatan yang jelas mengenai standar dan praktik pengembangan AI di seluruh kawasan.
 
Dengan kata lain, keberagaman yang dapat ditemukan wilayah Asia Tenggara bisa jadi tidak dipertimbangkan dalam desain AI. Dampaknya pun serius, khususnya terhadap isu-isu seperti bias AI, transparansi, tata kelola, dan keamanan. Sementara itu, kegunaan dan interoperabilitas sistem AI yang dirancang oleh pelaku usaha dan individu setempat juga terbatas.
 
Menyesuaikan AI dengan kebutuhan Asia Tenggara
Pengembangan AI di ASEAN perlu mempertimbangkan keunikan budaya yang merupakan ciri khas kawasan Asia Tenggara. Large Language Models atau LLM (LLM) yang merupakan fondasi dari AI generatif diketahui menunjukkan bias dalam hal nilai-nilai budaya, keyakinan politik, dan sikap sosial ketika dikembangkan menggunakan data yang sebagian besar diambil dari pengguna berbahasa Inggris.
 
Mungkin tidak mengejutkan bahwa kesepuluh negara anggota ASEAN kurang terwakili dalam LLM populer yang ada. Sebagai contoh sederhana, karena begitu banyaknya orang yang menggunakan istilah “LOL” atau “laugh out loud” untuk menanggapi hal yang dianggap jenaka, beberapa kalangan mungkin terkejut bahwa sebagian besar negara non-penutur bahasa Inggris di ASEAN menggunakan istilah yang sama sekali berbeda.
 
Di Thailand misalnya, mereka menggunakan “5555” karena angka 5 dilafalkan sebagai ‘ha’ dalam bahasa Thailand, sedangkan orang Indonesia menggunakan “wkwkwk” yang berarti “gue ketawa” atau “saya tertawa.” Hilangnya ciri khas budaya dan bahasa yang unik ini berpotensi mengurangi relevansi AI yang dibangun di atas LLM populer bagi negara-negara Asia Tenggara.
 
Menanggapi hal ini, AI Singapore, sebuah program nasional yang diluncurkan oleh pemerintah Singapura, baru-baru ini memperkenalkan keluarga LLM SEA-LION (Southeast Asian Languages ??In One Network), yang secara khusus disesuaikan dengan bahasa dan indikator budaya Asia Tenggara.
 
Bagian dari penyesuaian SEA-LION termasuk penggunaan metode yang dibuat khusus untuk memungkinkan sistem AI memahami dan memproses teks dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, Thailand, dan Vietnam. SEA-LION nantinya juga akan diperluas untuk memproses bahasa lain seperti Burma dan Laos.
 
Dengan menggunakan LLM yang desainnya mengedepankan inklusivitas seperti SEA-LION, sistem AI dapat dilatih berdasarkan data yang lebih mencerminkan Asia Tenggara, sehingga menghasilkan perangkat lunak AI yang dapat melayani kebutuhan pengguna dan perusahaan di wilayah ini dengan lebih baik.
 
Menentukan Arah Regulasi AI ke Depannya
Pedoman yang diadopsi di ADGMIN juga sangat penting bagi pemerintah, karena pedoman tersebut menentukan arah peraturan tingkat nasional yang mengatur AI, mendorong penerapan pendekatan berbasis risiko yang memungkinkan regulator untuk secara efektif mengatasi kesenjangan dalam kerangka kerja yang ada, dan mendorong pengembangan AI yang bertanggung jawab.
 
Secara keseluruhan, adopsi pedoman ini di tingkat ASEAN merupakan langkah yang sangat baik menuju penerapan standar dan praktik yang koheren untuk AI di seluruh kawasan. Dengan menggunakan pedoman ini, pelaku usaha di setiap negara anggota ASEAN dapat memusatkan upaya mereka untuk membuat mekanisme checks and balances yang tepat bagi sistem AI yang mereka ingin kembangkan, dengan mengetahui bahwa prioritas ini didukung oleh seluruh Asia Tenggara.
 
Akibatnya, posisi kelembagaan ASEAN sebagai pendorong yang berperan proaktif dalam mendukung pertumbuhan industri AI akan semakin diperkuat. Bagi pelaku usaha, mereka akan mendapatkan kepastian ketika berekspansi ke negara mana pun di ASEAN dengan adanya keselarasan regulasi dan persyaratan.
 
Sebagai bagian dari upaya ASEAN untuk memastikan bahwa pedoman ini bersifat holistik, ASEAN berkonsultasi dengan sektor swasta, termasuk AWS, untuk mendapatkan masukan. Kami bangga bisa mengontribusikan pandangan kami dan mendukung dokumen penting ini.
 
Memastikan semua orang dapat menggunakan AI
Memasuki tahun 2024, perkembangan lain yang bisa kita nantikan di ASEAN adalah Kesepakatan Kerangka Kerja Ekonomi Digital (DEFA) yang sudah lama ditunggu-tunggu.
 
Selain memastikan sistem AI mempertimbangkan keunikan budaya dan bahasa negara-negara Asia Tenggara dan mematuhi standar umum tata kelola, setiap lembaga pemerintah di seluruh kawasan juga harus memastikan bahwa AI tetap terjangkau oleh sebanyak mungkin penduduk Asia Tenggara.
 
Melalui Perjanjian Perdagangan Digital seperti DEFA, ASEAN harus berupaya mendorong adopsi AI yang inklusif dan lebih luas, serta memungkinkan akses ke alat dan data yang tepat untuk menggunakan AI secara efektif. Dengan kata lain, pengembang di Hanoi harus memiliki akses ke tools AI yang sama seperti pengembang di San Francisco.
 
DEFA berpotensi untuk mencapai tujuan ini dengan mengamankan komitmen kuat terhadap arus data lintas batas yang memungkinkan pelaku usaha di kawasan untuk mengakses tools AI dengan kualitas yang sama seperti belahan dunia yang berbeda. Tidak kalah penting, menggencarkan penerapan standar-standar internasional agar inovasi penggunaan AI yang dikembangkan di Asia Tenggara dapat diterapkan di mana pun juga menjadi salah satu hal yang perlu dikerjakan.
 
Jelas bahwa tahun 2024 akan menjadi tahun yang penting bagi AI di Asia Tenggara. Dengan kemajuan-kemajuan besar yang telah dicapai hingga saat ini, kami yakin bahwa landasan yang kuat tengah dibangun bagi ASEAN untuk bergerak dengan berani menuju masa depan yang diberdayakan AI. 
 
(Annabel Lee, Head of Data Policy, Asia Pacific and Japan, Amazon Web Services)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan