Hal tersebut dikupas dalam rangkaian kegiatan Science to Policy Dialogue yang diselenggarakan Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan (PR EIJP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu 4 Juni 2025.
Salah satu pembicara, Dwi Yuliawati, Head of Programme UN Women Indonesia menyampaikan pemaparan mengenai kesetaraan gender dalam perkembangan teknologi, khususnya Kecerdasan Artifisial, atau disebut AI, serta dampaknya terhadap perempuan dari berbagai peran sebagai pengguna, pembelajar, dan pengembang.
Dituturkannya, meskipun teknologi AI kerap dianggap netral dan menjanjikan efisiensi serta percepatan proses dalam berbagai sektor, kenyataannya tidak sedikit sistem AI yang memperparah ketimpangan yang sudah ada di dunia nyata.
Salah satu penyebab utamanya adalah bias historis dalam masyarakat yang kemudian tertransfer ke dalam data pelatihan AI. “AI tidak serta merta diskriminatif, tetapi ia merefleksikan kondisi sosial yang sudah bias,” tegasnya.
Ia memberi contoh temuan dari sebuah komite independen yang dibentuk Dewan Eropa pada 2019 dengan mengidentifikasi setidaknya enam pola diskriminasi dalam AI. Salah satunya historikal bias, bias yang muncul akibat ketimpangan yang telah lama ada dalam masyarakat.
Dwi lalu menyebutkan sebuah studi internal Amazon yang menunjukkan bahwa model AI yang mereka kembangkan secara tidak sengaja lebih memilih kandidat laki-laki dalam proses seleksi. Itu karena selama bertahun-tahun mayoritas pelamar memang laki-laki.
Selain itu, ada pula representasional bias akibat kurangnya data yang mewakili perempuan secara memadai. Serta, proxy bias, di mana variabel tertentu dalam model secara tidak langsung mengindikasikan jenis kelamin pengguna.
Pemaparan Dwi juga menekankan bahwa kesenjangan digital berbasis gender tidak hanya terjadi di negara berkembang. Studi terbaru UN Women menunjukkan bahwa kesenjangan ini bersifat global. Perempuan masih menghadapi keterbatasan akses, representasi, dan partisipasi dalam dunia digital, termasuk di bidang AI.
Di tahun 2025, diperkirakan 75% pekerjaan akan terkait dengan bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Namun, perempuan hanya mengisi sekitar 22% dari posisi di bidang AI secara global.
Kemudian, studi terhadap 133 sistem AI di berbagai industri mengungkap bahwa 44% di antaranya mengandung bias gender, lalu 25% bahkan mengandung bias ganda, yaitu gender dan ras.
Tak hanya dalam penggunaan, perempuan juga mengalami dampak negatif secara langsung, seperti kekerasan daring. Diungkapkan, 38% perempuan pernah menjadi korban, dan 85% pernah menyaksikan kekerasan terhadap perempuan di ruang digital.
Maka, ia menegaskan, UN Women mendorong pendekatan yang melihat perempuan dalam tiga identitas berbeda untuk mengidentifikasi dan merespons tantangan yang ada. Yaitu sebagai pengguna (users), pembelajar (learners), dan pengembang (developers).
Dwi menyoroti bahwa stereotip gender dalam keterampilan teknis turut mempengaruhi desain produk digital yang tidak inklusif. Hal ini menyebabkan kebutuhan perempuan kerap tidak dipertimbangkan dalam desain dan pemasaran produk digital, serta memperkuat pembagian gender tradisional.
Dari sisi partisipasi dalam pengembangan teknologi, data menunjukkan ketimpangan signifikan. Dalam komunitas pengembang, jumlah perempuan hanya 78 dibandingkan dengan 922 laki-laki. Hal ini menjadi salah satu faktor utama mengapa banyak sistem AI tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan.
Dwi menyampaikan pentingnya intervensi yang bersifat afirmatif dan sistemik, mulai dari upskilling, reskilling, hingga pengembangan kebijakan publik yang berbasis hak asasi manusia.
Inklusi dan Sensitivitas Gender
Ia menyoroti contoh dari Uni Eropa yang berhasil mengintegrasikan pendekatan berbasis pasar dan HAM secara seimbang dalam penyusunan kebijakan AI. Komitmen tersebut dibangun sejak 2019 melalui pembentukan komite independen yang fokus pada keterkaitan AI dan hak asasi manusia.
Ditekankannya bahwa transformasi digital tidak bisa hanya berhenti pada aspek literasi digital. Perlu perhatian terhadap dimensi struktural dan kebijakan agar kesenjangan partisipasi perempuan dapat ditangani secara berkelanjutan. Ia mengingatkan bahwa untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan minimal sebesar 25% menjadi salah satu kunci strategis.
Dwi juga menegaskan pentingnya inklusi dan sensitivitas gender dalam seluruh tahapan pengembangan teknologi digital. Pemerintah perlu memastikan bahwa layanan publik digital, termasuk sistem informasi luar negeri bagi pekerja migran perempuan, dapat diakses secara aman, ramah, dan bebas diskriminasi.
Menutup sesi diskusi, Umi, Kepala PR EIJP BRIN menyampaikan bahwa perkembangan AI di seluruh dunia seharusnya tidak berlangsung secara eksplosif tanpa kesiapan yang memadai dari sisi pemanfaatan. Menurutnya, penting untuk memastikan bahwa teknologi ini benar-benar dapat digunakan secara bijak dan inklusif.
“Masih banyak area aplikasi yang belum relevan. Ini menjadi refleksi bahwa perkembangan AI harus diarahkan agar sejalan dengan konteks sosial dan kebutuhan nyata,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News