Proyek ini digarap oleh Universitas Kecerdasan Buatan Mohamed bin Zayed (MBZUAI) di Abu Dhabi, dengan dukungan G42 (perusahaan teknologi UEA) dan Microsoft. Secara teknis, K2 Think dibangun di atas Qwen 2.5 milik Alibaba dan dijalankan pada perangkat keras khusus dari Cerebras, produsen chip AI.
K2 Think hadir dengan 32 miliar parameter, jauh lebih sedikit dibanding DeepSeek yang mencapai 671 miliar. Meski demikian, tim peneliti MBZUAI mengklaim performa K2 Think tetap bisa bersaing. Mereka menekankan bahwa kunci kekuatan model ini ada pada proses pengembangan yang benar-benar dipantau ketat, bukan sekadar dirilis terburu-buru seperti sebagian model open-source lain.
“Kami memperlakukan K2 Think sebagai sistem yang terus disempurnakan, bukan hanya model,” kata Hector Liu, Direktur Institute of Foundation Models MBZUAI.
Salah satu keunggulan K2 Think adalah kecepatan olah data. Model ini diklaim mampu memproses hingga 2.000 token per detik, setara dengan sekitar 1.500 kata.
Selain itu, K2 Think juga dirilis sebagai proyek open-source, sehingga para peneliti di seluruh dunia bisa mempelajari, memodifikasi, bahkan mengembangkannya lebih jauh.
Konsep transparansi ini dianggap penting agar setiap langkah pengembangan bisa direproduksi
komunitas riset global.
Fokus di Matematika & Sains
Berbeda dengan model AI populer seperti ChatGPT yang diarahkan ke chatbot serba guna, K2 Think punya misi lebih spesifik. Model ini ditargetkan untuk mendukung penelitian di bidang matematika, sains, dan uji klinis.“Kalau biasanya butuh ribuan orang bertahun-tahun untuk menemukan jawaban dari pertanyaan kompleks, K2 Think bisa memangkas waktu itu secara signifikan,” jelas Richard Morton,
Managing Director Institute of Foundation Models MBZUAI.
Dengan strategi ini, UEA seolah ingin menunjukkan bahwa inovasi AI tak melulu soal chatbot atau aplikasi komersial, melainkan juga percepatan riset ilmiah yang bisa berdampak langsung pada kemajuan global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News