Mau tidak mau, operator harus bertransformasi menjadi perusahaan digital. Digitalisasi tak hanya sebatas proses interaksi dengan konsumen, tetapi juga kultur perusahaan dan produk bisnis mereka sendiri. Ini bukan proses yang mudah karena operator harus bersaing dengan raksasa-raksasa dunia semacam Google, Facebook, Amazon, Netflix dan lain-lain.
Dalam studi "Global Telecommunications Study: Navigating the Road to 2020" yang melibatkan 40 perusahaan telekomunikasi di Afrika, Asia, Eropa, Timur Tengah dan Amerika Utara terlihat jelas, eksekutif telekomunikasi sedang berjuang menghadapi perubahan yang disruptif dari segala sisi.

Strategi utama yang paling mereka dahulukan untuk menghadapi perubahan adalah memperbaiki managemen pengalaman pelanggan. Industri telekomunikasi ingin meningkatkan loyalitas pelanggan sembari menghadirkan layanan yang lebih personal, seperti yang dilakukan perusahaan seperti Google dan Facebook.

Mereka juga berlomba-lomba merespons perubahan perilaku konsumen yang kini lebih banyak mengonsumsi data. Jika konsumsi data pada 2010 masih kurang dari 10 persen; angkanya meningkat menjadi 50 persen pada tahun 2015.
.png)
Di sisi lain, disrupsi di industri telekomunikasi juga membuka peluang yang lebih luas bagi operator. Mereka mulai merambah industri lain yang sama sekali baru: mobile advertising, e-commerce, smart home, dan lain-lain. Meski demikian, margin keuntungan dari sektor itu masih menjadi pertanyaan, setidaknya untuk saat ini.

Salah satu operator terkemuka di Tanah Air, XL Axiata, sedang menjalankan transformasi besar-besaran dengan target penyelesaian pada tahun 2020. Target tersebut hampir sama dengan beberapa perusahaan sejenis di negara lain, termasuk, misalnya, AT&T di Amerika Serikat. Walau demikian, XL menyadari, perkembangan teknologi yang begitu cepat bisa jadi akan menimbulkan disrupsi di tengah jalan dan memaksa mereka untuk kembali menyesuaikan diri. Karena itu, XL memilih transformasi secara bertahap.
Dalam pertemuan dengan media nasional di Pulau Belitung, pekan lalu, Presiden Direktur XL Axiata, Dian Siswarini menjelaskan, transormasi tahap pertama XL akan berlangsung pada 2015-2017. Transformasi itu mereka landaskan pada kredo 3R: Revamp, Rise & Reinvent”.
Revamp mereka jewantahkan dengan mengubah model bisnis: dari fokus pada volume menjadi value pelanggan, mengevaluasi strategi distribusi, mengubah kultur organisasi dan meningkatkan profitabilitas produk. Akibatnya, pangsa pasar XL, menurut GSMA Intelligence, melorot dari nomor dua menjadi empat pada Q2 tahun 2015. Pangsa pasar XL Axiata menurun dari 20,6 persen menjadi 14 persen; Xl kehilangan 17 juta pelanggan dalam waktu 12 bulan. Pada saat yang sama, pelanggan Indosat bertambah 14 juta dan pangsa pasarnya naik dari 18 persen menjadi 21,6 persen, atau tepat di bawah Telkomsel dengan pangsa pasar 45 persen. Sementara posisi ketiga dihuni Hutchison dengan pangsa pasar 14,4 persen, naik dari 11,5 persen pada tahun lalu.
"Apakah bisa XL bertransformasi karena biasanya bermain volume sekarang bergeser ke value? Pasti banyak resistensi dari internal dan eksternal. Karenanya akan memakan waktu yang panjang," kata Dian.
Selain itu, Dian mejelaskan, transformasi ini juga akan "mengorbankan" beberapa karyawan yang tak bisa menyesuaikan diri. "Tak semua leader di XL akan dibawa on the bus. Banyak karyawan XL bisa menyesuaikan diri ke transformasi baru, banyak juga yang tak bisa berubah. Kami harus melepas orang, tetapi di saat yang sama juga merekrut talent baru yang memang diperlukan untuk transformasi," katanya.
Melalui pernyataan tersebut, Dian menjelaskan duduk persoalan terkait isu bahwa XL Axiata akan melakukan PHK besar-besaran. Apalagi, sepanjang tahun 2016, XL sudah memberhentikan 100 orang karyawan melalui pensiun dini bertahap.
Apa sebetulnya yang diharapkan Dian dari karyawan XL dalam proses transformasi ini?
"Kami harus membuat organisasi ini bisa agile, cepat beradaptasi dan cepat berubah mengikuti tuntutan zaman," katanya.
Dian mengaku terinspirasi dari perusahaan semacam Google dan Facebook, yang hampir tiap hari membuat perubahan tanpa dirasakan penggunanya. "Kita belum terbiasa dengan rapid changing sepeti itu," katanya.
"Karena itu karyawan XL kita training how to be agile. Saya mau tiap hari mereka bisa belajar sehingga bisa menyesuaikan diri dengan perubahan."
Melalui Rise, XL hendak meningkatkan nilai merek XL melalui strategi dual-brand dengan AXIS untuk menyasar segmen pasar yang berbeda. Salah satu wujud kebijakan yang fokus pada nilai merek tersebut adalah peluncuran layanan pasca-bayar XL Prioritas, beberapa waktu lalu. Dengan akuisisi Axis pada tahun 2014, Dian mengarahkan fokus XL Axiata untuk segmen menengah ke atas, sedangkan Axis untuk menengah ke bawah.
"Kita mainkan Axis di daerah yang cocok dengan segmen Axis," kata Dian.
Sementara itu, proses digitaliasi XL mereka kerjakan melalui program Reinvent. Dalam waktu dekat, XL akan merilis layanan mirip Netflix yang mereka sebut Tribe, berisi video olahraga, drama korea, musik dan lain-lain. "Ke depan, video akan menjadi primadona," kata Dian.
Pada saat yang sama, XL juga serius mengembangkan e-commerce Elevania. Januari lalu, bersama SK Planet dari Korea Selatan, mereka kembali menyuntikkan dana sebesar USD50 juta ke perusahaan tersebut. Dengan demikian, total investasi yang diterima Elevania sejak berdiri tahun 2014 sudah mencapai USD110 juta.
Walau belum menguntungkan, XL meyakini Elevania adalah bisnis masa depan. Mereka juga mengejar valuasi perusahaan yang tercermin pada nilai transaksi. Tahun 2015, Elevania mencatat transaksi sebesar Rp1,5 triliun dan menargetkan Rp3,5 triliun pada tahun ini.
Belajar dari pasar e-commerce di Amerika Serikat yang sudah menunjukkan koreksi, Dian mengakui pihaknya sangat berhati-hati dalam mengembangkan Elevania.
"Kita sangat hati-hati enggak mau ada bubble. Anda bisa bikin traffic, tapi tidak bisa bikin transaksi. Kita ingin bisnis Elevania sustainable," katanya.
Di luar itu, XL juga merambah bisnis cloud, mobile financial services dan lain-lain.
Fokus 4G
Dari Capex 2016 sekitar Rp7 triliun, kata Dian, sebagian besar akan mereka gunakan untuk mengembangan jaringan 4G LTE. XL menargetkan 9 juta pelanggan 4G LTE pada tahun 2016. Target tersebut cukup ambisius mengingat hingga akhir tahun lalu pelanggan 4G LTE mereka baru sekitar 3 juta. Hingga akhir tahun 2016 nanti, XL punya target setidaknya sebanyak 85 kota sudah terlayani jaringan 4G LTE.
Mereka juga ingin memperluas network sharing dengan Indosat Ooredo yang sudah berlangsung di 4 kota: Banjarmasin, Banyumas, Batam dan Surakarta. Berbagi jaringan ini sejalan dengan misi pemerintah untuk membangun ekonomi digital Indonesia. Network Sharing juga menguntungkan bagi kedua belah pihak karena membuat biaya operasional lebih efisien.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News