Membicarakan disrupsi digital berarti sebuah fenomena yang mengganggu gaya kerja perusahaan dunia dari berbagai sektor yang selama ini belum memanfaatkan internet sepenuhnya. Digital disruption memberikan 2 pilihan kepada perusahaan: menyesuaikan diri atau hancur.
Tren IoT secara tidak langsung membuat perusahaan dari sektor yang berbeda, menerapkan layanan dan sistem yang sama. Dalam acara ASEAN Cisco Connect & IoT Forum, 26-27 Mei 2016, pihak Cisco mengibaratkan fenomena ini seperti Digital Vortex. Jika mengacu pada gambar di bawah, Digital Vortex diibaratkan sebagai black hole yang menghisap semua sektor bisnis.

Lubang hitam sebagai disrupsi digital, yang menuntut perusahaan untuk menyesuaikan diri. Namun, tidak semua sektor bisnis terkena dampaknya langsung. Mereka yang masih berada dalam tahap aman, punya waktu persiapan yang lebih banyak untuk menghadapi disrupsi digital.
“Yang terkena dampaknya secara langsung adalah perusahaan teknologi, media, ritel, dan perbankan,” kata Vice President, Enterprise Segment and Digital Transformation, Cisco Asia Pacific and Japan, Ross Fowler, dalam kesempatan yang sama.
Begitu berhadapan dengan disrupsi digital, perusahaan mulai menerapkan digitalisasi untuk menyediakan layanan yang lebih beragam kepada konsumen. Contoh mudahnya adalah jaringan internal yang memanfaatkan layanan cloud dan menyediakan infrastruktur IT yang lebih baik. Disrupsi digital berawal dari inovasi yang mengubah cara bekerja atau berpikir pegawai selama ini.
WhatsApp adalah aplikasi yang mengubah bagaimana manusia berinteraksi lewat aplikasi mobile lewat internet. Cara ini menggeser gaya berkomunikasi manusia, yang sebelumnya hanya lewat telepon atau SMS jaringan seluler.
Sayangnya, menurut riset Global Center for Digital Business Transformation, di tahun 2015, 45 persen perusahaan di seluruh dunia dari berbagai sektor bisnis melihat disrupsi digital sebagai fenomena yang tidak perlu dibicarakan dalam jajaran pimpinan. 43 persen perusahaan melihat disrupsi digital, tetapi tidak menanggapinya secara tepat.
Di sisi lain, 25 persen dari responden mampu menanggapi disrupsi digital, bahkan memanfaatkannya untuk bersaing dengan perusahaan besar. Mereka berhasil mengubah gaya bisnis yang selama ini menjadi penentu kemenangan perusahaan besar. Oleh karena itu, dalam Digital Vortex, perusahaan harus menerapkan digitalisasi untuk menghadirkan beragam inovasi pelayanan atau kalah bersaing dengan perusahaan yang lebih kecil, termasuk startup.
Seperti yang sudah dijelaskan, disrupsi digital adalah hal yang tidak bisa dihindari. Di Indonesia, Anda bisa melihat fenomena disrupsi digital, seperti Go-Jek, aplikasi yang menghadirkan layanan ojek online, dan akhirnya mengubah gaya bisnis ojek secara umum yang ada selama ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News