Meskipun begitu, menurut studi dari The Boston Consulting Group (BCG), adopsi ridesharing di Asia masih sangat rendah. Sekitar 96 sampai 99 persen jalan masih dikuasai kendaraan pribadi.
Sementara itu, di Jakarta, pada jam sibuk, terdapat 50 persen lebih banyak kendaraan dari kapasitas jalan. Sebanyak setengah dari total kendaraan, atau sekitar 11 juta kendaraan, hanya digunakan oleh satu penumpang.
Masih menurut riset BCG, dengan adanya layanan ridesharing, maka kebutuhan akan mobil pribadi di Jakarta akan berkurang menjadi 25 persen dari yang ada saat ini, yaitu sekitar 4 juta mobil.
Responden di Jakarta dan Surabaya mengaku, mereka rela tidak lagi menggunakan kendaraan pribadinya jika layanan ridesharing menjadi lebih bisa diandalkan dengan harga yang lebih terjangkau.
Sayangnya, salah satu keluhan soal layanan ridesharing saat ini adalah harganya yang meroket tajam ketika jam-jam tertentu. Terkait hal ini, pihak Uber menjelaskan, harga yang mereka tawarkan memang bersifat dinamis.
Biasanya, harga akan naik di sebuah kawasan ketika permintaan naik sementara tidak banyak pengemudi yang ada di kawasan tersebut. Alasan permintaan naik beragam, misalnya karena hujan deras atau karena adanya acara tertentu, seperti perayaan Tahun Baru atau konser.
Uber menjelaskan, harga layanan dinaikkan dengan tujuan untuk mendorong mitra pengemudi agar tertarik untuk memasuki kawasan macet itu untuk menjemput penumpang.
Jika tidak mau membayar dengan harga yang lebih tinggi, pilihan yang bisa Anda ambil adalah menunggu hingga permintaan berkurang. Saat jumlah permintaan dan ketersediaan mulai seimbang, maka biaya akan kembali normal.
Uber menyebutkan, konsep biaya dinamis memang biasa diterapkan di industri yang mengalami permintaan yang tidak tetap, seperti tiket pesawat atau harga kamar hotel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id