Namun, kemajuan ini berada di titik krusial seiring dengan kemungkinan usulan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019).
Usulan revisi tersebut memperluas cakupan data menjadi lima kategori utama: kependudukan, imigrasi, kesehatan, keuangan, serta kategori ‘lainnya’ yang akan ditentukan oleh kementerian atau lembaga terkait. Kurangnya kejelasan pada kategori terakhir menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha, karena mereka berpotensi diwajibkan untuk menyimpan berbagai jenis data di Indonesia.
Seiring meningkatnya peran data dalam ekonomi digital, dua paradigma utama kini mendominasi perdebatan global: arus data lintas batas (cross-border data flow) dan kedaulatan data (data sovereignty). Arus data lintas batas mendorong inovasi, investasi, dan perdagangan digital lintas negara.
Sementara itu, kedaulatan data menekankan pentingnya kontrol negara atas data, yang umumnya diterapkan melalui kebijakan lokalisasi data. Indonesia perlu menemukan keseimbangan antara kedua pendekatan tersebut untuk memastikan pelindungan data yang kuat tanpa menghambat fleksibilitas dan potensi ekonomi yang ditawarkan oleh pergerakan data lintas batas.
UMKM dan Integrasi Digital sebagai Tulang Punggung Ekonomi
Masa depan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada keberhasilan UMKM, yang mencakup lebih dari 99% pelaku usaha dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional.
Berbagai media digital seperti media sosial, cloud, dan sistem pembayaran telah membantu UMKM untuk berkembang, menjangkau pasar internasional, dan menekan biaya operasional. Platform lokal seperti Gojek menjadi contoh nyata bagaimana ekosistem digital mampu memberdayakan UMKM dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tingkat regional.
UMKM sangat bergantung pada layanan cloud dan arus data lintas negara untuk beroperasi secara efisien. Jika kebijakan lokalisasi data ketat—yang berpotensi tercakup dalam revisi PP 71/2019—diterapkan, maka terdapat risiko bahwa akses UMKM terhadap solusi digital yang hemat biaya akan ikut terhambat.
Konteks Hukum: Menyesuaikan dengan Praktik Terbaik di Dunia
Menyadari pentingnya data sebagai aset strategis, berbagai negara di dunia mulai menerapkan kerangka kerja yang komprehensif untuk tata kelola dan pelindungan data. Beberapa contoh utamanya adalah General Data Protection Regulation (GDPR) dari Uni Eropa, Consumer Privacy Act (CCPA) dan California Privacy Rights Act (CPRA) dari California, serta Personal Data Protection Act (PDPA) dari Singapura. Indonesia pun mengikuti langkah tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) pada tahun 2022.
Pasal 56 UU PDP mencerminkan sikap yang lebih terbuka terhadap transfer data lintas negara dengan mengikuti praktik terbaik global. Pasal tersebut memperbolehkan arus data lintas batas selama memenuhi standar pelindungan tertentu, selaras dengan konsep Data Free Flow with Trust (DFFT) yang diperkenalkan oleh Pemerintah Jepang, yakni mendorong kelancaran transfer data internasional sembari menjaga standar tinggi keamanan dan privasi data.
Alih-alih menerapkan kebijakan lokalisasi data yang kaku, Indonesia seyogyanya mengedepankan semangat UU PDP dengan merumuskan aturan transfer data yang jelas, interoperabel, dan konsisten dengan prinsip DFFT. Pendekatan ini tidak hanya akan memberikan kejelasan regulasi bagi pelaku usaha, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan digital global.
Keamanan Siber dan Literasi Digital: Fondasi Tata Kelola Data yang Berkelanjutan
Meskipun regulasi pelindungan data sangat penting, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada dukungan infrastruktur keamanan siber yang kuat. Dalam konteks kebijakan seperti lokalisasi data, terdapat risiko terpecahnya upaya keamanan siber karena sistem dipaksa bekerja dalam “silo”.
Sebagai contoh, alat deteksi ancaman siber sering kali bergantung pada kemampuan menganalisis pola dari sumber data global. Ketika sistem dibatasi hanya pada data nasional, kemampuan untuk mengenali dan merespons ancaman internasional menjadi terbatas. Tanpa infrastruktur keamanan siber yang memadai, bahkan regulasi pelindungan data pribadi yang paling komprehensif pun dapat gagal dalam mencegah kebocoran atau akses tidak sah.
Di sisi lain, literasi digital masyarakat juga menjadi pilar penting. Di era digital saat ini, kemampuan individu untuk memahami, mengelola, dan melindungi keamanan data pribadinya menjadi kunci utama. Masyarakat yang melek digital menjadi garis pertahanan pertama dalam menghadapi ancaman siber, dan memastikan bahwa pelindungan hukum terhadap data juga diperkuat dengan kesadaran dan kewaspadaan di tingkat pengguna.
Langkah Selanjutnya
Indonesia telah menetapkan target ekonomi yang ambisius: mencapai pertumbuhan 8% di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo pada tahun 2029 dan menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Untuk mewujudkan visi ini, Indonesia perlu terintegrasi secara penuh ke dalam ekosistem ekonomi digital global, yang hanya dapat dicapai melalui arus data lintas negara yang terbuka dan tepercaya.
Arus data lintas batas memungkinkan UMKM Indonesia mengakses platform digital global, menarik investasi asing, dan memanfaatkan teknologi masa depan seperti AI serta analitik big data.
Sebaliknya, kebijakan lokalisasi data yang terlalu ketat berisiko mengisolasi Indonesia dari rantai pasok global, meningkatkan biaya operasional, dan melemahkan daya saing digital nasional. Pembatasan terhadap pergerakan data juga dapat menghambat pertumbuhan industri kreatif, serta membatasi jangkauan global dari produk budaya dan ekspor kreatif Indonesia.
Seiring dengan penyempurnaan kebijakan tata kelola data di Indonesia, penting untuk menghindari pendekatan sentralistik yang menekankan kontrol daripada kemajuan.
Pendekatan yang lebih fleksibel dan berbasis kepercayaan dengan mengacu pada semangat Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), didukung oleh infrastruktur keamanan siber yang kuat, serta peningkatan literasi digital masyarakat, akan membuka jalan menuju tata kelola data yang berkelanjutan dan inklusif.
Indonesia memiliki peluang besar untuk tampil sebagai pemimpin dalam tata kelola data yang aman dan terbuka di Asia Tenggara. Dengan menyelaraskan regulasi nasional dengan praktik terbaik global dan memastikan bahwa kebijakan data mendukung inovasi, Indonesia dapat memperkuat ekonomi digital nasional dan membuka jalan bagi pertumbuhan jangka panjang yang inklusif dan merata.
(M. Irfan Dwi Putra, Peneliti di Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News