Hal ini disebabkan karena perusahaan/industri semakin memprioritaskan pembangunan rantai pasokan regional yang tangguh daripada sekedar bereaksi terhadap fluktuasi tarif jangka pendek.
Perbedaan biaya struktural tetap menjadi pendorong utama bagi perusahaan multinasional dari China, Jepang, dan Korea Selatan untuk mengalihkan modal Indonesia dan Vietnam di bawah strategi "China+1".
Dengan berinvestasi di pasar Asia Tenggara ini, perusahaan memperoleh akses ke fasilitas industri yang efisien dan dibangun sesuai kebutuhan, yang mendukung diversifikasi rantai pasokan.
Namun, penangguhan tarif US-China selama 90 hari baru-baru ini, yang mengurangi tarif dari 145 persen menjadi dasar 30 persen, telah menimbulkan ketidakpastian baru dalam keputusan relokasi industri. Ini semakin memperkuat permintaan akan sewa jangka pendek dan plug-and-play logistics parks yang fleksibel serta siap pakai.
"Analisis kami menunjukkan bahwa meskipun pengurangan tarif sementara memberikan ruang gerak bagi perusahaan/industri, strategi “China+1” telah menjadi model operasi standar yang berlaku umum saat ini, bukan hanya respons terhadap tarif," kata Global Head, Occupier Strategy and Solutions, Knight Frank Tim Armstrong dalam laporan, Selasa, 3 Juni 2025.
Menurutnya, saat ini telah memasuki era dimana strategi perusahaan real estat harus berkembang dari ekspansi bisnis ke daya tahan operasional.
"Ini bukanlah penyesuaian siklus, melainkan transformasi struktural yang memerlukan pendekatan baru dalam perencanaan portofolio, struktur sewa, dan strategi lokasi," jelas dia.
Perbedaan arah di pasar properti Asia-Pasifik
Head of Research, Asia-Pacific, Knight Frank Christine Li mengatakan pergeseran ke model 'Asia untuk Asia' semakin pesat, terlihat dari lebih dari 65 persen keputusan investasi rantai pasokan yang kini didorong oleh konsumsi di dalam Asia sendiri. Permintaan industri melonjak di negara-negara seperti Vietnam, India, dan Indonesia.Di sisi lain, pusat layanan regional dan penghubung seperti Singapura dan Hong Kong SAR berisiko terkena dampak sekunder dari kebijakan tarif AS. Ini terjadi karena gangguan rantai pasokan global dan limpahan dari ekonomi yang terdampak langsung."
Indonesia dan India mempertahankan potensi pertumbuhan yang kuat. Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan 15 persen hingga 20 persen dalam permintaan properti, khususnya terkait manufaktur, dipimpin oleh sektor elektronik, otomotif, dan logistik yang mencari fasilitas yang dibangun sesuai kebutuhan jangka panjang.
Sementara itu, pasar perkantoran India tetap kuat, menyumbang 47 persen dari aktivitas penyewaan regional pada tahun 2024—naik dari 36 persen pada tahun 2015—dengan rekor 6,68 juta meter persegi transaksi, didorong oleh perusahaan IT, Global Capability Centres, dan perusahaan multinasional yang tertarik oleh keunggulan talenta dan biaya.
Baca juga: Peluang Pertumbuhan Sektor Industri di Tengah Perang Dagang Global |
Vietnam tetap menjadi penerima manfaat utama dari diversifikasi 'China+1' tetapi juga termasuk yang paling terpapar tarif timbal balik AS. Riset Knight Frank memproyeksikan peningkatan 15 hingga 20 persen dalam permintaan ruang manufaktur di Vietnam, mencerminkan minat berkelanjutan dari masyarakat internasional, terutama perusahaan e-commerce besar China yang mencari fasilitas logistik lebih dari 100.000 meter persegi.
Meskipun China mungkin mendapat sedikit keringanan dari penurunan tarif, tantangan struktural tetap ada. Tingkat kekosongan industri di Shanghai dan Beijing terus meningkat akibat kelebihan pasokan. Oleh karena itu, pemerintah kini sangat berfokus pada konsumsi domestik sebagai pendorong utama untuk menyerap kelebihan ruang industri ini.
Hasil dari publikasi Knight Frank's latest Global Corporate Real Estate Sentiment Index (GCRESI) mencerminkan pergeseran menuju ketahanan operasional. Meskipun sentimen langsung menurun setelah pengumuman tarif pada 2 April (-1,01 poin secara keseluruhan), indikator strategis jangka panjang seperti belanja modal (+0,04) dan rencana ekspansi fisik (+0,06) justru menunjukkan kekuatan.
Pola ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan kini lebih memilih pendekatan yang adaptif dan tangguh di pasar seperti Indonesia dan Vietnam, dibandingkan hanya mencari lokasi dengan biaya terendah. Ini adalah kombinasi antara kehati-hatian taktis dan keyakinan strategis.
Lima strategi untuk menavigasi tatanan dunia baru
Laporan ini menguraikan panduan komprehensif agar perusahaan real estat berhasil di tengah gejolak struktural pasar perdagangan :Menerapkan struktur sewa yang fleksibel: Lupakan kontrak sewa 5 tahun yang tradisional. Kini, perusahaan real estat harus menawarkan perjanjian yang lebih pendek, yaitu 1-3 tahun, lengkap dengan opsi perpanjangan dan klausul pemutusan kontrak.
Memprioritaskan fasilitas sesuai kebutuhan (Built-to-Suit): Pengembangan built-to-suit lebih diminati karena penyewa mencari ruang yang benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan operasional spesifik mereka.
Mengejar kemandirian pada skala regional: Perusahaan real estat sebaiknya menciptakan cadangan dalam jejak regional daripada terlalu bergantung pada integrasi global. Ini berarti memiliki lebih banyak opsi di berbagai lokasi.
Merancang ketahanan operasional: Fleksibilitas adalah kunci. Fasilitas yang bisa beradaptasi dengan perubahan kebutuhan produksi dan kondisi pasar akan memiliki nilai lebih.
Mengintegrasikan perencanaan skenario ke dalam pengambilan keputusan: Dengan jendela negosiasi yang singkat (90 hari), penting bagi strategi properti untuk memiliki beberapa rencana darurat atau skenario untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
Tim Armstrong menambahkan real estat korporat kini bukan lagi sekadar penentuan lokasi; namun telah berkembang menjadi bagian krusial dari ketahanan operasional sebuah bisnis. Walaupun ada sedikit pelonggaran kondisi saat ini, lingkungan perdagangan yang ada sekarang semakin menegaskan pentingnya fleksibilitas dalam mengelola aset properti dan struktur perjanjian sewa.
"Perusahaan-perusahaan yang mampu menyesuaikan strategi properti mereka akan memiliki posisi yang lebih kuat untuk meraih keberhasilan, apa pun hasil dari negosiasi antara Amerika Serikat dan China," ujar dia.
Country Head Knight Frank Indonesia Willson Kalip menambahkan di tengah tantangan ketidapastian global, Indonesia dapat menangkap peluang relokasi industri, baik dari US maupun China.
"Setidaknya keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia di tengah kompetisi regional adalah pasar domestik yang besar, pengembangan infrastruktur yang terus berlanjut, dan ketersediaan sumber daya alam," ungkap dia.
Namun, keunggulan tersebut perlu didukung dengan iklim investasi yang kondusif dari Pemerintah, baik berupa dukungan kebijakan maupun upaya menciptakan harmonisasi dengan masyarakat sekitar lokasi industri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News