Maka dalam mendirikan rumah sebaiknya memperhatikan penggunaan material, pembuatan struktur dan juga desain. Ketiga hal tersebut dinilai mampu meminimalisir kerusakan pada rumah saat terjadi gempa.
"Bangunan tahan gempa bukan hanya material, tapi desainnya juga mempengaruhi," kaya Head of Aggregate Readymix Division Holcim Indonesia, Juhan Suryanta, kepada Medcom.id.
Ketika mendirikan sebuah bangunan sebenarnya ada peraturan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah tahan gempa. Arsitek dan kontraktor selalu mengacu kepada desain tahan gempa saat mendirikan bangunan.
Bangunan gedung bertingkat umumnya memenuhi aturan tahan gempa dengan perhitungan khusus karena menggunakan jasa profesional. Sementara bangunan tipe kecil seperti rumah tinggal, sangat jarang mengikutinya bahkan perhitungan dilakukan ala kadarnya.
"Masalahnya rumah tinggal itu biasanya tanpa perencanaan, biasanya menggunakan jasa tukang bangunan yang kurang teredukasi teknik. Mereka otodidak karena sebelumnya sudah pernah membangun rumah juga," jelasnya.

Dinding sebuah tebing di Sambi Bangkol, Lombok Utara, longsor akibat guncangan gempa susulan yang terjadi H+3 gempa pertama. Antara Foto/Ahmad Zubaidi
Meskipun menggunakan bahan-bahan material terbaik, namun jika pengaplikasian di lapangan tidak mengikuti aturan maka bangunan tidak akan kokoh. Oleh karena itu, saat membangun rumah diperlukan tangan-tangan profesional.
"Misalnya bahan-bahannya sudah sesuai standar SNI, semen dan betonnya sudah sesuai, namun aplikasi di lapangannya juga harus dengan ahli. Misalnya bangunan jadi mudah keropos karena beberapa bahan bangunannya sengaja dikurangi," ungkapnya.
Saat gempa bumi melanda wilayah Yogyakarta dan Aceh, Juhan menemukan banyak rumah-rumah yang dibangun tanpa memiliki fondasi yang bajk. Struktur bangunan tidak memiliki penopang baja sehingga rumahnya tidak memiliki penahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News