Demikian disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, dalam diskusi yang digelar di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu (2/1/2019). Rentetan bencana alam yang terjadi selama ini membuktikan perencanaan dan pelaksaan penataan wilayah belum sepenuhnya merujuk kepada peta bencana.
"Pembenahan tata ruang ialah hal utama untuk menyelamatkan jiwa saat bencana. Persoalan adalah tata ruangnya tidak ditaati," ujar Eko.

Ledakan dan awan erupsi dari kepundan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda pada 1 Januari 2019. Erupsi yang terjadi pada 22 Desember 2018 meruntuhkan sebagian dinding kepundan yang longsor ke laut dan menyebabkan tsunami. AFP Photo/Azwar Ipank
"Tsunami di Selat Sunda salah satu faktor banyaknya korban ialah masyarakat memang tinggal di pinggir pantai. Begitu juga kasus di Palu, masyarakat tinggal di daerah rawan," kata Eko
Padahal sudah ada aturan mengenai tata ruang yang bila benar-benar dilaksanakan dapat mengurangi risiko bencana. Salah satunya Perpres 51/2016 tentang Batas Sempadan Pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang nyatanya tidak benar-benar ditegakkan.
Hunian penduduk di wilayah-wilayah yang terdampak tsunami Selat Sunda seperti di Pantai Carita dan Pantai Anyer nyaris berada di bibir pantai. Idealnya ada garis sempadan sejauh 300 meter dari bibir pantai untuk perlindungan jika ada gelombang tinggi menerjang.
.jpg)
Sebuah mobil dan puin-puing bangunan terhempas di tengah sawah setelah diseret ombak tsunami yang menerjang pantai Pandeglang. Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay
"Peringatan dini sebaik apa pun kalau tata ruangnya tidak dibenahi, tidak banyak membantu menyelamatkan jiwa. Perlu peran aktif semua pihak serta ketegasan pemerintah dalam mengatur tata ruang wilayah," tegas Eko.
Bencana tsunami menghempas Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018 malam. Gelombang tsunami diyakini terjadi akibat longsor dari runtuhnya dinding kepundan Gunung Anak Krakatau yang erupsi.
Berdasarkan data sementara BNPB per 31 Desember 2018, jumlah korban tewas 437 jiwa, 14.059 orang luka-luka dan 33.721 jiwa diungsikan. Masa tanggap darurat diperpanjang hingga 5 Januari 2019 lantaran masih banyak korban warga yang melaporkan kehilangan keluarga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News