Gedung Kesenian Jakarta merupakan bangunan bergaya arsitektur kolonial. Foto: Cagarbudaya.kemdikbud.go.id
Gedung Kesenian Jakarta merupakan bangunan bergaya arsitektur kolonial. Foto: Cagarbudaya.kemdikbud.go.id

Mengenal Arsitektur Bergaya Kolonial di Indonesia

Rizkie Fauzian • 16 Agustus 2022 12:18
Jakarta: Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur. Dahulu kala, bangunan-bangunan tersebut dibangun arsitek untuk bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan.
 
Bangunan-bangunan ini banyak ditemukan di wilayah Jawa dan Sumatra. Saat itu, kedua wilayah ini dianggap penting karena memiliki perekonomian yang baik pada masa penjajahan Belanda. 
 
Arsitektur kolonial memiliki beberapa periode. Pada masa tersebut terdapat empat buah gaya yang digunakan yaitu Indische Empire Stle, Voor 1900, NA 1900, Romantiek, 

1. Arsitektur Indische Empire Style

Arsitektur ini berkembang pada abad 18 dan 19 sebelum terjadinya westernisasi pada kota-kota di Indonesia pada abad ke-20. Ciri-ciri bangunan ini tidak bertingkat, atap perisai, berkesan monumental, dan halamannya sangat luas.
 
Baca juga: Perjalanan Arsitektur di Indonesia Sebelum Masa Kemerdekaan

Ciri lainnya biasanya serambi muka dan belakang terbuka dilengkapi dengan pilar batu tinggi bergaya Yunani (Orde Corintian, Ionic, Doric). Tampak atau muka bangunan simetris
mengikuti denah bangunan yang simetris. 

2. Voor 1900

Gaya Voor ini berkembang mulai awal 1900. Memiliki corak hampir sama dengan Indische Empire Style, tetapi mengalami beberapa perubahan yang lebih menyesuaikan dengan iklim tropis di Indonesia.

Gaya arsitektur ini tak hanya digunakan untuk bangunan-bangunan kolonial milik Belanda, tetapi juga pada Tiongkok dan pribumi. Namun, bangunan Tiongkok memiliki ragam yang lebih rumit.

3. Gaya NA 1900

Aliran ini dipengaruhi aliran romantis Eropa. Ciri khas bangunan ini memilliki denah yang masih simetris sehingga tidak mempengaruhi tampak muka bangunan. Tampak bangunan utama mulai asimetri. 
 
Baca juga: Museum Fatahillah, Jejak Arsitektur Kolonial Belanda

Bangunan dengan gaya ini memiliki hiasan ada kaca pintu dna jendela bangunan. Penggunaan bahan dari material besi jarang digunakan dan bahan ragam hias dari kaca bermotif dan berwarna paling banyak digunakan.

4. Romantiek

Gaya arsitektur ini memiliki kesamaan dengan NA 1900, tetapi dengan gaya romantis yang lebih kuat. Penambahan detail dekoratif terdapat pada hampir seluruh bagian bangunan dan elemen ruang luar.
 
Ciri-ciri utama adalah banyaknya penggunaan lengkung, bentuk atap tinggi dengan kemiringan antara 45 - 60 derajat dengan penutup genting.
 
Kurangnya pembangunan akibat Depresi Besar, gejolak Perang Dunia Kedua dan perjuangan kemerdekaan Indonesia 1940-an, serta stagnasi ekonomi selama gejolak politik tahun 50-an dan 60-an membuat banyak arsitektur kolonial tetap lestari hingga beberapa dekade terakhir.
 
Meskipun rumah-rumah kolonial hampir selalu merupakan milik kaum elit Belanda, Indonesia, dan Tiongkok yang kaya, dan bangunan-bangunan seperti itu pada umumnya selalu dikaitkan dengan kolonialisme Eropa, gaya-gaya arsitektur tersebut seringkali merupakan kombinasi yang kaya dan kreatif dari dua budaya, sedemikian rupa sehingga rumah-rumah itu tetap dikunjungi hingga abad ke-21.
 
Arsitektur pribumi bisa dibilang lebih banyak dipengaruhi oleh arsitektur Eropa baru daripada arsitektur kolonial yang dipengaruhi oleh gaya Indonesia dan unsur-unsur Barat ini terus menjadi pengaruh dominan pada lingkungan binaan Indonesia pada saat ini.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KIE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan