Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan hal itu juga terkait adanya perbedaan antara solusi banjir di Belanda dan Indonesia sehubungan pengelolaan wilayah pesisir masing-masing.
"Penataan kota di Belanda disesuaikan dengan pengelolaan daerah aliran airnya, sementara Jakarta dan daerah pendukungnya justru membangun kotanya dengan melakukan perubahan terhadap daerah aliran airnya," ungkapnya.
Abdul Halim yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga menyatakan, hal itu mengakibatkan luas sungai menyempit. Selain itu, kerap ada wilayah pesisir yang direklamasi untuk kepentingan properti dan hulunya dibangun vila atau perumahan.
"Daerah tangkapan/resapan air di Jakarta sudah berubah menjadi hutan beton yang dialokasikan untuk keperluan pembangunan perumahan, mal, hotel, pabrik," katanya.
Dia menegaskan, hal strategis yang perlu dilakukan adalah melindungi daerah tangkapan/resapan air yang masih tersisa agar tidak dialihfungsikan, serta mengembalikan fungsi daerah aliran sungai dari hulu ke hilir sebagaimana mestinya.
Kemudian, Pemprov DKI dinila perlu memperbanyak sumur resapan di daerah-daerah resapan air yang telah berubah fungsi, dibantu warga dengan cara membuat lubang biopori, dan mengurangi dan mengelola sampahnya sejak level rumah tangga, terutama sampah anorganik.
Sebelumnya, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa muka air laut di Jakarta Utara berada 1,5 meter di atas permukaan tanah.
Kenaikan permukaan air laut tersebut memiliki dua kemungkinan, apakah tanah Jakarta yang mengalami penurunan atau volume air laut yang semakin tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News