Medan: Golput atau tidak menggunakan hak pilih dalam pilkada dinilai merupakan bentuk 'pelarian politik' dan ketidakberhasilan untuk memikul tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat harus menyadari jika golput bukan hak dan bukan bagian dari hak asasi.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Dr Ansari Yamamah mengatakan, masyarakat harus mengubah paradigma yang dinilai salah selama ini akan tetap. Memilih dalam pemilu merupakan salah satu bentuk kewajiban sebagai warga negara.
Jika memberikan suara dalam pilkada dianggap sebagai hak, maka akan muncul persepsi faktor itu dianggap biasa saja, termasuk mau digunakan atau tidak dalam demokrasi. Jika kesempatan itu diberikan, lalu tidak digunakan karena memilih dianggap hanya sebatas hak, akan muncul pemahaman untuk tidak bertangung jawab atas pemerintahan karena tidak ikut memberikan suara.
"Seolah-olah, kalau golput, tidak perlu bertanggung jawab karena tidak memilih. Itu memunculkan kecenderungan untuk tidak peduli," kata Ansari di Medan, Minggu, 1 April 2018 seperti dikutip dari
Antara.
Namun, kata Ansari, jika memilih dianggap menjadi sebuah kewajiban, akan muncul rasa bersalah jika tidak ikut menggunakan suara dalam pilkada. Kemudian, jika sudah terlibat dalam demokrasi, masyarakat akan merasa berkewajiban untuk mengawal pemerintahan yang dihasilkan.
Baca: Umat Katolik Diminta Tidak Golput di Pilkada 2018
"Jika sudah merasa wajib memberikan hak pilih, akan merasa wajib juga mengawal pemerintahan," kata Ansari yang juga dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam UIN Sumatera Utara itu.
Ia menambahkan, jika mengambil keputusan untuk golput, akan muncul kemungkinan pemimpin yang terpilih tidak sesuai dengan keinginan. Jika kondisi itu yang muncul, masyarakat akan mudah terpengaruh, bahkan mudah terprovokasi karena merasa dipimpin orang yang tidak sesuai keinginannya.
Padahal melalui pilkada, masyarakat justru diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin. Ia juga menyebut, orang-orang yang memilih Golput seperti tidak memiliki sikap.
"Karena itu, orang yang golput tersebut seperti orang tidak punya sikap, itu pelarian politik, orang-orang yang tidak berani menunjukkan sikap," ujar Ansari.
Baca: Golkar Setuju Usulan Revisi Peraturan KPU
Karena itu, alumni Leiden University Belanda tersebut malah menilai anggapan bahwa golput menjadi hak asasi sebagai bentuk pembodohan politik. "Itu sama dengan membuang kesempatan orang untuk berpartisipasi dalam bernegara," katanya.
Dalam konteks kenegaraan, golput juga merugikan pemerintah, baik dari konteks anggaran karena banyak logistik pilkada yang sia-sia, maupun dari aspek legitimasi pemerintahan.
"Negara rugi, meski mengeluarkan anggaran besar tapi sia-sia karena adanya golput. Pemimpin juga rugi karena tidak mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat," tandasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((DMR))