medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah yang diajukan sebagian besar pasangan calon yang kalah dalam pilkada serentak 2015.
MK memutuskan ketetapan tersebut berdasarkan Pasal 157 dan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta Pasal 6 Peraturan MK nomor 1-5 tahun 2015 yang menitik beratkan pada selisih perolehan hasil suara. Padahal, kondisi di lapangan tak hanya selisih suara saja yang digugat para pemohon melainkan pelanggaran-pelanggaran pilkada lain seperti money politik.
Menanggapi hal tersebut, juru bicara MK, Fajar Laksono, mengakui bahwa kewenangan MK hanya mengadili apa yang ada dalam Pasal 158, meski Mahkamah menyadari bahwa pelanggaran pilkada akan lebih masif jika hanya mengacu pada selisih suara.
"Kalau kita baca alurnya pertimbangan putusan MK di awal soal Pasal 158 jelas, apa yang diamanatkan UU itulah yang dilaksanakan MK. Maka terserah, kewenangan 158 mau dihapus, mau dinaikkan persentasenya, MK sekadar menafsirkan," kata Fajar, di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (26/1/2016).
Menurut dia, jika MK hanya mengacu pada Pasal 158, pelanggaran pilkada untuk tahap berikutnya akan menimbulkan kecurangan yang lebih masif. Namun, kata dia, bukan kewenangan MK jika hendak mengabulkan gugatan pilkada berdasarkan kecurangan-kecurangan pilkada.
MK, kata Fajar, khawatir jika melakukan hal melebihi kewenangannya dalam urusan gugatan pilkada dengan mengabulkan gugatan-gugatan di luar selisih suara. Kecuali, jika Pasal tersebut direvisi atau diperluas yang membuat kewenangan MK bertambah dengan menerima gugatan atas pelanggaran pilkada.
"Karena dasarnya ada di situ. Masak anda diberi wewenang, dititipi segini, tapi anda melebar-melebar, disemprit lagi nanti," lanjutnya.
"Logika pertimbangan hukum MK, melaksanakan. Bahwa MK organ konstitusi tapi sedang diberikan kewenangan tambahan. Jadi apapun bunyi Undang-undangnya, meski MK menolak dikatakan sebagai corong atau terompet Undang-undang tapi itulah, memang begitu," jelasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))