Jakarta: Polemik putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai syarat batas usia calon kepala daerah masih terus berlanjut. Pro dan kontra menyikapi putusan itu terus berdatangan. Salah satu kritik datang dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand) Padang yaitu Feri Amsari. Dia mempertanyakan langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengambil keputusan, apakah mematuhi putusan MA atau mengikuti Undang-undang (UU) yang lebih tinggi.
Menurut Feri jika KPU mematuhi Putusan MA dan mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) hal ini tidak wajar. Tentu kata dia, akan muncul kecurigaan di tengah masyarakat terkait putusan tersebut dan mengaitkannya dengan sosok tertentu.
“Dengan melihat kondisi ini, ketika KPU mengatakan patuh terhadap Putusan MA dan mengabaikan UU bagi saya ada nuansa yang janggal, dan patut dicurigai ini sudah diset (diatur) sedemikian rupa,” kata Feri dalam tayangan Metro TV, Selasa, 2 Juli 2024.
Baca juga: Putusan MA Dinilai Karpet Merah Kaesang Maju Pilgub, Gibran Tolak Komentar |
Feri juga mengungkit soal problematika Pemilihan Presiden (Pilpres) beberapa bulan lalu, dimana putusan yang diambil Mahkamah Konstitusi (MK) menguntungkan salah satu calon tertentu yang merupakan anak dari Presiden Joko Widodo. Kata Feri semua berawal dari sengketa dan lahirlah putusan.
“Pola kecurangan ini adalah dejavu dari proses kecurangan Pilpres kemarin, dimulai dari putusan praperadilan, konflik KPU dan Komisi II DPR, lalu sepakat untuk mematuhi putusan peradilan, dan kita bisa merasakan dampak dari putusan itu hanya dinikmati oleh satu figur saja,” ucap Feri.
Sebelumnya MA mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), Ahmad Ridha Sabana yang diproses pada 27 Mei 2024 dan diputus pada 29 Mei 2024.
MA mengubah syarat dan ketentuan minimal usia calon kepala daerah menjadi 30 tahun saat pelantikan untuk calon tingkat provinsi, dan 25 tahun untuk calon tingkat kabupaten/kota. Padahal, sebelumnya syarat tersebut berlaku saat pendaftaran sebagai calon.