Jakarta: Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dinilai harus menjadi pembelajaran bagi pembuat undang-undang (UU). Negara perlu memiliki regulasi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di tengah bencana non-alam, seperti pandemi
virus korona (covid-19).
"Ini sebagai bentuk antisipasi kita agar dalam penyelenggaraan pemilu tidak khawatir dengan dasar hukumnya," kata pelaksana harian (Plh) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra dalam diskusi Ikatan Alumni (Iluni) UI, Jumat, 23 Oktober 2020.
Ilham mengatakan UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada baru mengakomodasi ketentuan penyelenggaraan pemilihan umum di tengah bencana alam. Regulasi itu membuat penyelenggaraan pemilu di daerah bencana berjalan sukses.
"(Seperti) di Gunung Sinabung. Sidoarjo (ada) kasus lumpur itu juga kita lakukan pemilihan dengan baik," ungkap dia.
Namun, Ilham menilai kondisi saat ini berbeda. Regulasi yang ada belum cukup untuk menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi. Tak heran, penyesuaian yang dilakukan tidak maksimal.
Baca: Sosialisasi Pilkada 2020 Kurang Masif, KPU Dikritik
Dia mencontohkan penghapusan kegiatan tatap muka. KPU tak bisa menghapus semua jenis kegiatan tatap muka karena belum diatur dalam UU. Penyelenggara pilkada hanya melarang bazar, konser, dan kegiatan yang menimbulkan kerumunan orang dalam jumlah banyak.
KPU juga tidak bisa menerapkan sanksi diskualifikasi bagi peserta yang melanggar protokol kesehatan. Padahal, sanksi maksimal dibutuhkan agar pasangan calon mematuhi protokol kesehatan saat kampanye.
Menurut Ilham, payung hukum penyelenggaraan pemilihan untuk semua kondisi sangat dibutuhkan. Dengan begitu, berbagai langkah antisipasi bisa dipersiapkan dan diterapkan secara maksimal.
"Ini perlu juga diatur di dalam UU bagaimana pandemi seperti ini," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))