medcom.id, Tangerang: Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, paradigma Mahkamah Konstitusi (MK) sudah jauh berbeda dengan sembilan tahun yang lalu. Fakta tersebut ia dapat berdasarkan banyaknya sengketa Pilkada yang ditolak MK.
"Dari banyaknya gugatan yang dilayangkan ke MK terkait sengketa Pilkada, ada 40 kasus yang dinyatakan gugur dan tidak memiliki kedudukan hukum (
legal standing). Bahkan, ada permohonan itu tidak memenuhi ketentuan minimal ambang untuk mengajukan gugatan perselisihan suara," kata Refly saat mengisi kuliah umum di Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS), Tangerang, Banten, Sabtu, 15 April 2017.
Menurut Refly, sejak November 2008, MK mulai menangani sengketa hasil perselisihan pilkada berdasarkan ketentuan Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Secara konsisten, MK menerapkan doktrin perselisihan hasil pilkada sebagai pengajuan permohonan sesuai Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal tersebut mengharuskan pemohon memenuhi ambang batas atau selisih suara yang dihitung dari jumlah penduduk suatu daerah mulai 0,5 persen sampai 2 persen.
"Jadi, ini adalah pergeseran paradigma MK. Maka tak heran, pada waktu itu, MK memutuskan dengan langsung tanpa adanya sela berupa putusan. Pada saat itu, MK disebut kalkulator," kata Refly.
Banyaknya permohonan yang digugurkan, lanjut Refly, menjadi paradigma baru yang diusung MK dalam memeriksan, mengadili dan memutuskan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah serentak 2017. Dosen tetap program Pasca Sarjana UNIS Tangerang ini menegaskan, pada mulanya perselisihan itu bukan kewenangan yang melekat pada lembaga konstitusi.
Refly menjelaskan, berdasarkan ketentuan undang-undang dasar negara republik Indonesia, MK hanya berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara perselisihan hasil pemilihan legislatif, yaitu DPR, DPD, DPRD, dan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
"Sedangkan, perselisihan hasil kepala daerah di bawah yuridiksi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Tapi, sejak adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 atas perubahan kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan untuk memutuskan perselisihan pemilihan umum kepala daerah beralih di MK," jelas Refly.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((NIN))