Untuk alasan pembebas yang pertama, semua mafhum. Kaesang tidak punya jabatan yang bersangkut paut dengan pemerintahan. Ia memang pucuk pimpinan, tapi pimpinan partai politik, yakni Ketua Umum PSI. Karena bukan penyelenggara negara, begitu 'vonis bebas' KPK, aturan soal gratifikasi tidak bisa dikenakan kepadanya.
Selesaikah urusan gratifikasi dan kaitannya dengan penyelenggara negara itu? Bagi KPK dan Kaesang, perkara sudah rampung. Clear, malah. Namun, tidak bagi sebagian publik. Benar bahwa Kaesang bukan pejabat, bukan penyelenggara negara.
Namun, dia anak Presiden Indonesia. Ia putra pejabat eksekutif tertinggi di Republik ini. Selain itu, Kaesang adik Gibran Rakabuming Raka, yang ketika peristiwa fasilitas jet pribadi itu terjadi sedang menjabat Wali Kota Surakarta.
Baca:Sukses Pemerintahan Jokowi Sejahterakan Rakyat Siap Dilanjutkan Prabowo |
Karena anak presiden dan adik wali kota itulah, soal fasilitas jet pribadi Kaesang disoal. Boleh jadi, begitu logika sebagian publik, ia memperoleh fasilitas gratis karena ia anak presiden dan adik wali kota. Bisa jadi, ada urusan 'udang di balik batu'. Ada pamrih dari si pemberi fasilitas. Amat mungkin pula fasilitas yang diberikan itu ada kaitannya dengan upaya sang pemberi fasilitas untuk memperoleh kemudahan bisnis. Atau, mungkin, fasilitas tumpangan private jet ke sejumlah tempat itu sebagai bentuk hadiah balas budi atas kemudahan-kemudahan bisnis yang barangkali pernah dicecap pemberi fasilitas. Apalagi, fasilitas jet pribadi itu disebut-sebut ada kaitannya dengan sebuah perusahaan yang punya cabang bisnis di Kota Surakarta, wilayah yang dipimpin Gibran, sebelum kakak kandung Kaesang itu menjadi wapres.
Dalam urusan itulah fungsi KPK sebagai pembebas Kaesang dikritik. Lembaga antirasuah itu dikesankan tidak serius menyelisik perkara dugaan gratifikasi Kaesang. "KPK amat sangat tidak bernafsu menyelidiki kasus ini. KPK bukan saja masuk angin, tapi sudah pingsan," kata seorang teman melalui sebuah grup percakapan pesan.
Ada juga yang mengkritik, "Bukan cuma taring KPK yang tanggal dalam perkara Kaesang. Kuku-kuku KPK juga copot, meretheli (rontok) semua. Tidak usahlah berharap KPK menggigit, sekadar mencakar pun sudah tidak mau. Alarm darurat pemberantasan korupsi meraung-raung."
Beberapa orang menagih janji KPK yang akan mengusut perkara dugaan korupsi yang bersumber dari modus memperdagangkan pengaruh. Berkali-kali KPK menyebutkan banyak perkara korupsi yang bersumber dari trading in influence. Ketika orang punya kuasa, atau punya kerabat pemegang otoritas kekuasaan, ada tendensi menggunakan kekuasaan atau kedekatan pada kekuasaan itu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berakibat menguntungkan diri dan merugikan negara serta menabrak aturan.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa perbuatan trading in influence merupakan perilaku koruptif yang menyimpangi moralitas. Itu disebabkan perbuatan tersebut digunakan untuk mendapatkan imbalan dengan memanfaatkan atau menyalahgunakan pengaruh, baik karena jabatan publik atau pengaruh yang timbul dari hubungan politik, kekerabatan, kedekatan, atau hubungan lainnya.
Sampai di sini, KPK belum menjawab bila Kaesang 'bukan siapa-siapa', apakah ia bakal bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas tumpangan jet pribadi gratis? Juga, bila sang pemberi fasilitas 'tidak punya maksud apa-apa', apakah pemberi 'tebengan' jet pribadi itu rela memberikan hal yang sama untuk anak muda lain yang 'bukan siapa-siapa'?
Baru faktor pertama saja, dosis kritik terhadap putusan KPK sudah tinggi. Apalagi faktor pembebas kedua, yakni KPK memutuskan Kaesang bukan penerima gratifikasi karena sudah tidak lagi satu kartu keluarga (KK) dengan Presiden Jokowi. Ia sudah punya KK sendiri sehingga, begitu logika KPK, Kaesang tidak bisa disangkutpautkan dengan jabatan Jokowi sebagai presiden atau Gibran sebagai wali kota.
Logika seperti itu jelas membuat banyak orang, termasuk saya, geleng-geleng kepala atau setidak-tidaknya mengerutkan dahi. Dahi berkerut sembari batin berucap dan bertanya: serius ini pertimbangan KPK? Mengungkap perkara dugaan gratifikasi dengan jawaban yang dibelokkan ke urusan administrasi kependudukan belaka? Kalau pelawak Asmuni masih hidup, niscaya ia akan terkejut seraya berseru laa haula walaa quwwata illa billah. Sangat syulit untuk dipercaya itu alasan 'pembebas' yang digunakan KPK.
Alasan seperti itu sama saja mengajari para pejabat di negeri ini untuk memakai 'modus' yang sama bila kelak ada anggota keluarga mereka diduga menerima gratifikasi. Bahkan, bisa jadi modus bagi diri pejabat sendiri bila ingin memperdagangkan pengaruh demi mendulang hadiah, pakailah jalur kerabat yang KK-nya sudah terpisah.
Namun, kendati sudah ada preseden seperti itu, belum ada garansi bakal tidak diterungku penegak hukum. Itu disebabkan level jabatan Anda belum setinggi itu, belum pemegang komando 'rumpun eksekutif' yang memasukkan KPK sebagai bagiannya. Jadi, jangan coba-coba meniru bila tidak ingin tetap diterungku.