Sebaliknya, jika sebuah kota masih dijejali dengan deretan trotoar yang sempit, kusut, semrawut, dan tak terurus, alias tak ramah terhadap pejalan kaki, level peradabannya pun akan dianggap rendah. Ada dua kemungkinan penyebab. Pertama, kota itu memang bebal dan tak ingin peradabannya naik kelas, atau, kedua, barangkali dia hanya belum menemukan ‘hidayah’ untuk meningkatkan level peradabannya.
Baca:Lalin di Simpang Santa Bakal Didesain Ulang Usai Lebaran |
Lihatlah contoh kota-kota di Eropa seperti Paris di Prancis atau Florence di Italia yang setiap sudutnya bisa dijelajahi dengan berjalan kaki saking bagusnya mereka mengatur penataan kota yang berpihak kepada pejalan kaki. Atau tengok New York, AS, yang di tengah keriuhannya sebagai kota bisnis tersibuk di dunia, pemerintahnya membangun trotoar yang luas, lebar, dan yang pasti bersih, demi memanjakan pedestrian.
Rumusnya memang begitu. Kota yang punya paradigma maju selalu berprinsip memanjakan pejalan kaki. Kebalikannya, kota yang paradigmanya tidak maju selalu menomorsatukan pengguna kendaraan bermotor. Kota yang maju memperlebar trotoar dan mengintegrasikannya dengan fasilitas transportasi massal yang terus dikembangkan. Kota yang tidak tahu bagaimana caranya maju, gemar melebarkan jalan dan hanya memikirkan kepentingan pengguna kendaraan pribadi.
Jakarta, dalam beberapa tahun terakhir, sebetulnya sedang menuju perubahan paradigma pengembangan kotanya. Pengelola Ibu Kota sudah mulai sadar bahwa kemacetan dan keruwetan Jakarta tak akan pernah bisa dilawan dengan terus-terusan menambah ruas dan lebar jalan. Kerja selama ini boleh dibilang sia-sia karena faktanya penambahan jalan serupa deret hitung, sedangkan penambahan kendaraan pribadi mengikuti deret ukur. Tak pernah bakal terkejar. Dengan kesadaran itu, program revitalisasi trotoar dilakukan. Bahkan dipasang target ambisius sepanjang 2.600 km jalur pedestrian yang akan ditingkatkan kualitasnya. Bersamaan dengan itu, pembangunan taman-taman kota dan jalur bagi pesepeda juga terus digencarkan. Sampai akhir 2022 lalu, di Jakarta sudah terbangun jalur sepeda sepanjang 105 km dengan target total 300 km. Ketiga upaya tersebut sekaligus merupakan upaya membangun kota yang lebih peduli dan ramah terhadap lingkungan.
Namun, sayang, kesadaran dan upaya mengejar peradaban maju sekaligus kepedulian lingkungan itu rupanya tak berumur panjang. Hanya seusia dengan umur rezim gubernur yang menginisiasinya, Anies Baswedan. Begitu dia lengser karena habis 'masa berlaku' kepemimpinannya, digantikan oleh Pj Gubernur Heru Budi Hartono, satu per satu langkah mengungkit level peradaban Jakarta terhenti. Jakarta seolah sedang menuju kebebalannya lagi, memupus mimpi mereka sendiri tentang peradaban kota.
Belakangan, Pemprov DKI Jakarta bahkan memberi kado Lebaran teramat pahit bagi para pegiat pejalan kaki dan sepeda di Ibu Kota. Tanpa ba-bi-bu, mereka mengaspal kembali trotoar dan jalur sepeda di Simpang Santa, Jakarta Selatan, dengan dalih untuk mengurai kemacetan di daerah itu. Sebuah alasan klise yang sarat dengan pikiran-pikiran kolot dan kuno.
Bukankah mestinya mereka yang salah karena tidak bisa membuat warganya beralih ketergantungan dari kendaraan pribadi menjadi terbiasa berjalan kaki, bersepeda, serta menggunakan transportasi massal, tapi kenapa yang disalahkan malah trotoar dan jalur sepedanya yang sepi? Bukankah mobil dan motor yang bikin macet setiap hari, tapi kenapa yang dibongkar trotoarnya? Kacau, bukan?
Bahkan ada yang cara berpikirnya lebih kacau. Demi mendukung langkah 'Pj gubernur rasa gubernur' itu, ada seorang ketua komisi di DPRD DKI Jakarta, berasal dari partai politik terbesar, ikut mengeluarkan pernyataan yang semakin menyakiti akal sehat publik. Ia bilang, "Sekali lagi saya memberi apresiasi kepada Pak Pj, trotoar-trotoar yang memang sangat mengganggu masyarakat dan menjadi keluhan masyarakat menurut saya harus dievaluasi dan dibongkar."
Trotoar dianggap mengganggu masyarakat karena, mungkin, telah mempersempit ruang gerak kendaraan bermotor. Karena itu, publik pun curiga, setelah Simpang Santa, sangat mungkin akan ada lagi 'serangkaian pembunuhan' terhadap trotoar-trotoar yang sudah direvitalisasi selama ini.
Kalau sudah begini, yang akan jadi korban, ya, Jakarta dan masa depannya. Mimpi tentang peradaban dan kemajuan kota yang dicita-citakan Jakarta boleh jadi akan kembali terkubur dalam-dalam. Terkubur oleh kesesatan pikiran penguasa yang masih saja berpihak kepada pengguna kendaraan bermotor pribadi. Entah sampai kapan.
Namun, kiranya kita masih berharap ada keajaiban di akhir Ramadan ini. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah.
Jangan lupa ikutiupdateberita lainnya danfollowakungoogle newsmedcom.id