Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa/Media Indonesia/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa/Media Indonesia/Ebet (Jaka Budi Santosa)

Jaka Budi Santosa

Jaka Budi Santosa

Menjaga Kewarasan

Jaka Budi Santosa • 09 Desember 2022 05:39
AKAL sehat bangsa ini terus diuji orang-orang yang sakit akal. Setiap jelang hajatan demokrasi, ujian itu kian menjadi, termasuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang derajat kepanasannya mulai meninggi saat ini.
 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akal berarti daya pikir (untuk memahami sesuatu dan sebagainya); pikiran; jalan atau cara melakukan sesuatu; daya upaya; ikhtiar. Adapun sehat berarti waras; baik dan normal (tentang pikiran). Dengan begitu, boleh lah kita artikan bahwa akal sehat ialah pikiran yang waras.
 
Pikiran yang waras amat lah penting agar kita bisa menjadi aktor kehidupan dengan baik. Sebaliknya, pikiran tak waras ialah awal dari ketidakberesan hidup, tak hanya pribadi, tetapi juga di masyarakat.

Baca:Tiba di Papua, Anies Disambut Hangat Tokoh Adat dan Relawan


Di dunia politik pun, apalagi jelang pemilu, pikiran waras sangat lah vital. Sayangnya, godaan terhadap kewarasan semakin besar. Menguar kebencian, menyebar hoaks atau berita bohong, dan menebar fitnah merupakan contoh ketidakwarasan. Dalam kontestasi untuk mencari pemimpin negeri ini, bentuk-bentuk ketidakwarasan itu pun masif terjadi.
 
Dulu, jelang Pilpres 2019, ketidakwarasan gencar menyerang Jokowi. Banyak amsalnya, tetapi kita ambil sedikit contoh yang amat banal. Saking bencinya pada Jokowi, saking bernafsunya agar Jokowi tak terpilih, ada yang menjadikan azan sebagai dagangan politik. Azan merupakan panggilan suci buat umat muslim untuk salat, bersujud di hadapan sang Khalik. Azan dikumandangkan lima kali sehari semalam.
 
Jokowi beragama Islam. Cawapres yang mendampinginya juga Islam, bahkan seorang ulama, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pula. Namanya KH Ma'ruf Amin. Namun, di mata orang-orang yang kadar kewarasannya kurang, Jokowi disebutkan akan melarang azan jika terpilih jadi presiden.
 
Dalam video, dua perempuan dengan bahasa Sunda berkampanye door to door, dari pintu ke pintu. Isinya bikin miris. "Moal aya deui sora azan, moal aya deui nu make tieung. Awewe jeung awewe meunang kawin, lalaki jeung lalaki meunang kawin," katanya.
 
Hasutan itu kira-kira berarti, ''Suara azan di masjid akan dilarang, tidak akan ada lagi yang memakai hijab. Perempuan sama perempuan boleh kawin, laki-laki sama laki-laki boleh kawin.''
 
Menyebut azan akan dilarang jika Jokowi jadi presiden jelas keblinger, tak waras. Akan tetapi, sejarah mencatat negeri ini masih lebih banyak orang-orang waras yang tidak mudah terhasut oleh pikiran yang tak waras.
 
Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, ketidakwarasan kembali menjadi racun jahat. Kali ini, giliran Anies Baswedan yang kerap jadi sasaran. Anies ialah bakal capres yang dideklarasikan Partai NasDem. Rupa-rupa serangan gencar ditujukan kepadanya, serangan yang terang benderang bertentangan dengan pikiran waras, dengan akal sehat.
 
Belum lama ini, beredar selebaran dan poster dengan logo Partai NasDem plus wajah Anies yang isinya menyesatkan. Salah satunya bertuliskan; 'Restorasi Umat Islam Munajat Akbar untuk Anies Baswedan Bersholawat dan Tausiyah Agama Menuju Negara Islam... Ayo Islamkan Indonesia!!!'
 
Di lain waktu, beredar pula selebaran bergambar Anies dengan judul Tegakkan Khilafah melalui Perjuangan Politik. Selebaran itu tersebar di sejumlah masjid di Lampung.
 
Anies akan menjadikan Indonesia negara Islam? NasDem akan mengislamkan Indonesia? Ah... saya berani jamin hanya orang-orang yang akalnya sekarat yang berpikiran seperti itu.
 
Anies akan menegakkan khilafah di Indonesia? Ah... saya yakin Anies tidak sinting. Saya hakulyakin hanya orang-orang yang kewarasannya dipertanyakan yang berpandangan Anies pro khilafah.
 
Anies beragama Islam, tapi bisa dipastikan tiada niat sedikit pun di pikirannya mendirikan negara Islam dan khilafah di Indonesia. Dia dikenal moderat. Rekam jejaknya baik saat menjadi akademisi, tatkala menjabat menteri, maupun ketika dipercaya memimpin DKI Jakarta, membuktikan kemoderatannya.
 
Saya tidak tahu pasti siapa yang membuat dan menyebarkan narasi-narasi kasar tersebut. Sangat mungkin mereka ialah orang-orang yang berseberangan dengan Anies. Mereka seolah mendukung, tetapi sebenarnya hendak menjatuhkan Anies.
 
Mereka ingin terus melekatkan stigma negatif, stigma radikal kepada Anies. Stigma yang semata didasarkan pada ketidaksukaan, bahkan kebencian. Jika mendiang Soedjarwoto Soemarsono alias Gombloh dalam lagunya berjudul Lepen (Lelucon Pendek) ada lirik Kalau cinta sudah melekat, tai kucing rasa cokelat, para pembenci Anies terbalik. Bagi mereka, kalau benci sudah berkarat, cokelat rasa tai kucing.
 
Ketidakwarasan kiranya akan terus hadir di antara kita, di antara orang-orang waras. Ia menjadi senjata untuk membunuh karakter lawan politik. Ia tidak akan selesai hari ini, juga nanti. Kalau begitu, haruskah kita tunduk pada pitutur sing waras ngalah? Meminjam petuah dari Gus Mus, konsep 'yang waras ngalah' tak relevan lagi.
 
Ketidakwarasan harus dilawan. Tentu dengan cara-cara yang baik, cara-cara yang mengutamakan kewarasan karena kalau orang waras hanya diam, dunia nyata dan lebih-lebih dunia maya akan dikangkangi orang-orang yang tak waras.
 
Menjaga kewarasan kiranya menjadi keniscayaan. Jangan biarkan mereka semakin edan, apalagi ikut-ikutan edan.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Podium kampanye hitam Anies Baswedan Pilpres 2024 Pemilu 2024 ujaran kebencian

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif