Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. MI/Ebet (Gaudensius Suhardi)

Gaudensius Suhardi

Anggota Dewan Redaksi Media Group

Modus Perppu

Gaudensius Suhardi • 09 Januari 2023 05:39
IHWAL kegentingan memaksa menjadi syarat utama diterbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Akan tetapi, di era reformasi, perppu menjadi jalan pintas proses pembentukan undang-undang secara normal. Presiden menerbitkan perppu, DPR tinggal menerima atau menolaknya.
 
Disebut jalan pintas karena sesungguhnya kondisi negara baik-baik saja, tetapi sudah surplus perppu. Bayangkan, selama 25 tahun era reformasi dengan lima presiden silih berganti, sudah diterbitkan 32 perppu. Bandingkan dengan 32 tahun Orde Baru dengan 8 perppu dan Orde Lama dengan 144 perppu.
 
Era reformasi dimulai pada 1998. Presiden BJ Habibie yang berkuasa selama 512 hari menerbitkan tiga perppu. Begitu juga dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang berkuasa selama 20 bulan menerbitkan tiga perppu. Presiden Megawati, yang melanjutkan sisa masa jabatan Gus Dur, menerbitkan empat perppu.
 
Indonesia memasuki fase presiden dipilih langsung oleh rakyat pada 2004. Meski tidak ada kondisi yang genting-genting amat, produksi perppu tidak surut. Selama dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diterbitkan 19 perppu. Begitu juga dengan Presiden Joko Widodo yang saat ini menjalani masa pemerintahan periode kedua, sudah menerbitkan delapan perppu. Surplus perppu, terutama di era reformasi, dipakai untuk menyiasati proses pembentukan undang-undang secara normal yang memang rumit. Salah satu yang membuat rumit, yakni mesti melibatkan partisipasi masyarakat, penuh makna. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna memenuhi tiga prasyarat menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
 
Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
 
Melibatkan partisipasi masyarakat menjadi salah satu syarat pembuatan undang-undang. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta perubahannya menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
 
Aspirasi masyarakat sangat banyak sehingga pembuat undang-undang pusing tujuh keliling untuk menampungnya. Sering kali aspirasi itu ditampung tanpa ada tindak lanjutnya. Itulah salah satu alasan untuk menempuh jalan pintas dengan menerbitkan perppu.
 
Penelitian yang dilakukan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas pada 2010 menyebut perppu berpotensi menjadi produk hukum dengan karakter hukum ortodok/konservatif. Ada tiga ciri yang disodorkan.
 
Pertama, pembuatannya bersifat sentralistik atau tidak partisipatif dalam arti lebih banyak ditentukan oleh kekuatan eksekutif sehingga partisipasi dari kalangan masyarakat dan kekuatan di luar lembaga-lembaga negara tidak mendapatkan penyaluran secara proporsional.
 
Kedua, materi muatannya tidak aspiratif, tetapi bersifat positivistik-instrumentalistik, dalam arti lebih merupakan justifikasi atau pembenaran atas pandangan politik dan program-program pemerintah.
 
Ketiga, cakupan isinya bersifat interpretatif, dalam artian memuat hal-hal pokok yang dapat ditafsirkan dengan berbagai peraturan rendahan oleh pemerintah. Kemudian dengan menafsirkan dengan peraturan lebih lanjut ini memberi peluang bagi lahirnya tafsiran-tafsiran yang tidak sekadar bersifat teknis tetapi sering menjadi pencerminan dari keinginan dan kekuatan politik pemerintah.
 
Agar tidak ada tafsiran aneh-aneh atas sebuah perppu, kelahiran perppu hendaknya memenuhi syarat yang tercantum dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Baca Juga:Pakar: Perppu Ciptaker Tidak Menjawab Putusan MK


Menurut MK, perppu diperlukan apabila, pertama, adanya keadaan yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
 
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
 
Karena dimaknai sebagai modus menyiasati pembentukan undang-undang, jika ada perppu, tidak perlu ditanggapi berlebihan apalagi sampai demo berjilid-jilid. Cukup diujikan ke Mahkamah Konstitusi sesuai putusan nomor 138/PUU-VII/2009.
 
Pertimbangan putusan itu menyebutkan bahwa MK berwenang untuk menguji perppu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena perppu tersebut telah menjadi undang-undang.
 
Membawa perppu ke MK sebuah sikap bijak untuk menguji konstitusionalitas modus perppu yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Perppu Ciptaker UU Cipta Kerja Undang-Undang Podium

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif