BANYAK yang menilai mundurnya Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman bakal membuat pengusutan kasus dugaan korupsi yang ditengarai melibatkan dia bakal maju pesat.
Mundurnya Nurhadi juga memunculkan harapan bahwa reformasi birokrasi di MA telah menemukan momentum terbaik. Karena Nurhadi dinilai sebagai episentrum dari seluruh dugaan kasus mafia peradilan di MA, jaringan besar mafia peradilan di sekelilingnya yang menghambat reformasi di lembaga itu pun segera diberangus.
Nyatanya penilaian itu keliru. Hampir dua pekan sejak kursi sekretaris MA kosong, kasus pengusutan dugaan korupsi yang ditengarai melibatkan Nurhadi masih jalan di tempat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga meningkatkan status penyelidikan kasus tersebut ke level penyidikan.
Kita mencatat penangan kasus Nurhadi sejak terjadi o¬perasi tangkap tangan (OTT) terhadap Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution, beberapa bulan lalu hingga hari ini, belum mengalami kemajuan berarti. Padahal, setelah menangkap Edy Nasution dan mendapatkan sejumlah ke¬saksian darinya, KPK dinilai sudah memiliki lebih dari dua barang bukti. KPK, misalnya, telah menyita uang Rp1,7 miliar beserta sejumlah dokumen di rumah dan kantor Nurhadi, saat ia masih aktif menjabat Sekretaris MA.
Nurhadi pun sudah empat kali diperiksa penyidik KPK. Istrinya, Tin Zuraida, pun tidak luput dari pemanggilan dan pemeriksaan para penyidik komisi antirasywah. Pertanyaannya, mengapa KPK seperti terkendala saat mengusut kasus yang diduga kuat melibatkan Nurhadi itu?
Di luar laju pengusutan kasus yang berjalan dalam kecepatan siput itu, kita juga mencatat sejumlah kejanggalan.
Pertama, hingga kini KPK belum juga bisa menghadirkan enam saksi yang diyakini bisa mengungkap peran sentral Nurhadi dalam kasus tersebut. Keenam saksi tersebut ialah empat anggota Brimob yang menjadi ajudan Nurhadi, sekretaris pribadi merangkap sopir Nurhadi, Royani, dan bos PT Paramount Enterprise International Eddy Sindoro.
Kita mempertanyakan mengapa KPK seperti kehilangan taji saat harus mendatangkan saksi-saksi kunci tersebut?
Empat anggota Brimob bekas ajudan Nurhadi tidak pernah bisa dihadirkan KPK untuk diperiksa. Begitu pula dengan Royani yang dilaporkan raib entah ke mana. Demikian pula dengan Eddy Sindoro, hal itu jauh lebih misterius lagi. Apa pun alasannya, kenyataan bahwa pengusutan perkara Nurhadi yang bak tari poco-poco itu tidak bisa kita terima. KPK bahkan terkesan anteng-anteng saja belakangan ini.
Karena itu, kita mengingatkan KPK untuk bekerja lebih keras dan lebih sungguh-sungguh dalam menangani kasus Nurhadi. Apalagi beberapa kali pimpinan KPK menyatakan kasus dugaan keterlibatan Nurhadi itu merupakan grand corruption dan puncak gunung es. Kita mau KPK membuktikan hal itu.
Untuk mendorong kemajuan kasus itu, kita meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendukung seluruh langkah KPK, termasuk memerintahkan jajarannya membantu KPK menghadirkan keempat anggota Brimob, Royani, dan Eddy Sindoro.
Jika tidak, jangan salahkan bila publik menilai dalam kasus Nurhadi ada kekuatan invisible hand yang terus bekerja menyelamatkan seluruh jaringan mafia peradilan. Kita ingin penegak hukum menyingkirkan tangan tersembunyi itu karena pengungkapan perkara Nurhadi menjadi pintu masuk reformasi MA. Untuk mereformasi MA, penegak hukum harus menguak lebar-lebar perkara Nurhadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
