Kaudhawa atau nama lain kelor di masyarakat Wolio yang berasal dari kau yang artinya kayu, dan dhawa yang artinya perekat, atau dapat disimpulkan adalah lem kertas. Kelor oleh masyarakat Wolio banyak dimanfaatkan untuk keseharian dari mulai sebagai sayuran dan pakan ternak, obat obatan, karbit alami, hingga kegunaan lainnya.
"Salah satu contohnya dalam ungkapan masyarakat Wolio yaitu Kelor itu sayurnya orang banyak (Kaudhwa yitu tawana kauna mia bhari) artinya kelor merupakan sayur yang umum di orang Walio," terang Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Wa Ode Winesty Sofyani, mengutip siaran pers Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat, 1 Oktober 2021.
Kelor juga berkaitan erat dengan budaya di dalam masyarakat Wolio. Tak hanya dalam ungkapan, Kelor ini juga menjadi pameo, teka teki, dan tabu yang berupa larangan dan pantangan di masyarakat Wolio.
Baca: Mahasiswa IPB Ungkap Biodiversitas Zooplankton di Teluk Maumere
Sementara itu, Dosen Fakultas Biologi UGM Purnomo menjelaskan, untuk melihat manfat kelor diperlukan banyak pendekatan keilmuan. Seperti Farmasi, yang dapat mengidentifikasi kandungan kelor serta manfaatnya.
"Klasifikasi morfologi kelor menurut etnis merupakan hal yang menarik. Dari sini kita dapat melihat terdapat kelor perempuan dan laki laki yang juga dikaitkan dengan rasa enak dan tidaknya kelor," ungkap Purnomo.
Dalam variannya menurut etnis, terdapat empat varian kelor, yaitu kelor liar yang memiliki rasa enak dan tidak enak, serta kelor budi daya yang memiliki rasa enak dan tidak enak. Ia menambahkan bahwa ini dapat menjadi pemantik untuk keberlanjutan penelitian bagaimana manfaat dari tiap tiap jenis kelor yang ada.
"Apakah kelor yang enak dimakan dan tidak enak maka tidak dimakan,” papar Purnomo.
Guru Besar Antropologi FIB UGM Heddy Shri Ahimsa Putra memberikan tanggapan serupa. Ia mengatakan, perlu ada perluasan dimensi dari penelitian etnobotani dengan etnosains terkait kelor sehingga dapat memaksimalkan manfaat kelor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News