Tim terdiri atas Abdul Hadi, Mohammad Naufal Al Farros, dan Nindya Eka Winasis dari Departemen Teknik Fisika ITS. Mahasiswa yang tergabung dalam tim Sapu Jagad itu menggagas ide yang dituangkan pada cabang perlombaan Karya Tulis Ilmiah (KTI) berjudul Deteksi Dini Tsunami Menggunakan Sinyal Frekuensi Rendah (Infrasound) Berbasis Bayesian Infrasound Source Localization (BISL) dan Triangulasi Observatorium yang Ada di Indonesia.
Ketua tim Sapu Jagad Abdul Hadi menjelaskan inovasi yang digagas timnya berbeda dengan alat pendeteksi tsunami yang sudah ada. Observatorium dapat mendeteksi tsunami melalui infrasound atau suara dengan frekuensi rendah yang ditimbulkan dari pergeseran lempeng bumi.
“Infrasound kami jadikan sebagai sumber deteksi karena memiliki beberapa keunggulan,” jelas Hadi dalam keterangan tertulis, Selasa, 13 Desember 2022.
Hadi menyebut keunggulan dikarenakan frekuensi infrasound relatif rendah, yaitu berkisar antara 0-20 Hertz. Hal itu membuat kemungkinan adanya pelemahan sinyal akibat dari gangguan sinyal lain sangat rendah.
Sehingga, data mentah grafik infrasound yang didapatkan tidak memiliki banyak perubahan dan masih selaras dengan gelombang infrasound yang dihasilkan dari pergeseran lempeng bumi. Observatorium juga didesain membentuk sebuah elemen segi lima yang nantinya akan ditempatkan di atas tanah dan diberi jarak 1-3 kilometer antarelemen.
Setiap elemen juga ditunjang dengan sensor yang berfungsi mendeteksi sumber infrasound yang timbul, serta filter noise reduction. Hal itu untuk meminimalisir sinyal yang dapat mengganggu Observatorium mendeteksi lokasi pergeseran lempeng bumi atau yang kerap disebut dengan gempa.
Tim juga menyertakan rencana lokasi penempatan Observatorium di Indonesia yang disebut dengan Triangulasi Observatorium. Lokasi yang dipilih tidak sembarangan, melainkan berdasarkan pada peta ring of fire, peta potensi bencana, peta batuan induk, dan perpotongan garis diagonal yang dibuat pada peta.
Tim Sapu Jagad akhirnya menentukan tiga titik lokasi yang direncanakan sebagai lokasi penempatan Observatorium, yaitu Kota Malang, Padang, dan Palu. "Terpilihnya ketiga lokasi tersebut sudah dapat menjangkau seluruh lokasi di Indonesia apabila suatu gempa yang berpotensi tsunami terjadi," beber Ketua Himpunan Teknik Fisika ITS ini.
Mahasiswa kelahiran 2000 itu menjelaskan cara kerja alat terbagi menjadi tiga proses, yaitu deteksi, asosiasi, dan lokalisasi. Proses deteksi merupakan proses awal untuk mendeteksi apakah gempa yang terjadi akan menimbulkan tsunami.
Dalam prosesnya, saat gempa terjadi sensor elemen Observatorium yang terdekat dari lokasi gempa otomatis akan mendeteksi titik infrasound muncul. Kemudian, sinyal infrasound tersebut ditangkap oleh sistem bernama Adaptive F-Detector (AFD) untuk dianalisis apakah gempa yang terjadi itu akan berpotensi tsunami atau tidak.
Apabila hasil analisis AFD menunjukkan adanya potensi tsunami, sistem AFD otomatis mengeluarkan warning system atau peringatan. Data AFD berupa grafik tersebut kemudian disalurkan ke dua stasiun Observatorium lainnya guna memastikan lokasi terjadinya gempa yang akan berpotensi tsunami.
Dalam tahap pemastiannya, alat ini dirancang dengan sistem Joint Likehood, yaitu sistem yang dibuat khusus untuk mengobservasi lokasi yang berpotensi tsunami pada ketiga Observatorium yang ada. Lebih rinci, saat ketiga Observatorium mendapatkan informasi dari setiap sistem AFD, selanjutnya tiap Observatorium saling melengkapi informasi untuk menyesuaikan titik lokasi yang berpotensi tsunami.
Kerja sama dari ketiga alat ini disebut dengan tahap asosiasi. Saat tahap asosiasi telah mendapatkan hasil berupa titik lokasi yang berpotensi tsunami, dilanjutkan dengan tahap lokalisasi guna memberikan akurasi titik lokasi yang berpotensi tsunami dan menghitung volume tsunami yang akan datang.
Pada tahap ini, digunakan sistem bernama Bayesian Infrasound Source Localization (BISL). Sistem ini akan melakukan analisis hasil dari tahap asosiasi guna memberikan lokasi pasti dari tsunami yang akan datang.
Kemudian, data diolah kembali untuk memperkirakan besarnya volume tsunami yang akan terjadi. Dari data akhir di tahap lokalisasi inilah yang kemudian akan diinformasikan kepada masyarakat apabila akan terjadi tsunami di lokasi tertentu dengan volume tsunami sekian.
Inovasi alat karya tim Sapu Jagad yang berbasis infrasound dapat mendeteksi potensi terjadinya tsunami 15 menit lebih cepat dibandingkan dengan alat pendeteksi tsunami lainnya seperti Buoy. Sehingga, Observatorium dapat mendeteksi suatu lokasi akan terjadi tsunami 30 menit sebelum kejadian.
“Dengan begitu, warga di sekitar lokasi yang berpotensi tsunami dapat memiliki waktu evakuasi lebih lama,” tutur Hadi.
Inovasi tim Sapu Jagad di bawah bimbingan Dhanny Arifianto ini erhasil membawa pulang medali perunggu pada ajang Pagelaran Mahasiswa Nasional Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (Gemastik) XV 2022. Hadi berharap semoga inovasi timnya yang dituangkan dalam KTI ini bisa segera terealisasikan.
“Jika Observatorium kami direalisasikan dan digunakan di Indonesia, maka bisa lebih banyak pula nyawa yang bisa diselamatkan saat sebelum terjadi tsunami,” tutur dia.
Baca juga: Waduh! 4 Alat Peringatan Dini Tsunami di Bantul Rusak |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News