Budi menjelaskan teknologi haploid adalah teknologi kultur jaringan yang dieksplorasi, dimanfaatkan, digunakan untuk menghasilkan satu atau beberapa hasil generasi gamet jantan atau betina. Hal itu untuk menghasilkan tanaman haploid dan/atau haploid ganda yang disebut juga dengan galur murni.
Teknologi ini dapat mendukung pemuliaan, mutasi, transformasi genetik, pemetaan genetik, genomik dan perbenihan. Teknologi ini dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.
"Pengembangan teknologi haploid pada cabai dapat dilakukan dengan cara, pertama dengan kultur anther tetapi teknologi ini tidak efektif dan sangat dipengaruhi oleh genotype tanaman," jelas Budi dalam HortiES Talk #8 bertema "Teknologi Menjawab Tantangan dan Permasalahan Cabai Nasional" dikutip dari laman brin.go.id, Kamis, 20 Juli 2023.
Kedua, kultur mikrospora, teknologi ini juga kurang efektif karena hanya menghasilkan sedikit embrio dan tanaman. Ketiga, kultur shed microspore, teknologi ini sangat menjanjikan karena embrio dalam jumlah lebih besar.
Sementara itu, Peneliti Ahli Madya PRHP ORPP BRIN, Rinda Kirana, memaparkan perakitan varietas cabai (2005-2022) dan kegiatan riset saat ini. Rinda mengungkapkan selama 17 tahun melaksanakan tugas di Kementan, dia ikut berkontribusi pada pendaftaran 17 varietas cabai Kementan.
"Terdiri dari 13 varietas cabai besar, dua varietas cabai keriting, dan dua varietas cabai rawit," beber dia.
Rinda mengatakan protokol produksi galur murni cabai menggunakan teknologi shed-microspore telah berhasil dikembangkan oleh Plant Research Internasional, Wageningen University, Belanda. Teknologi ini juga telah berhasil digunakan untuk memproduksi dan menghasilkan galur-galur murni cabai nasional varietas Tombak, Cemeti, dan Laris oleh Dr. Ence Darmo Supena dari Pusat Riset Sumber Daya Genetik dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Teknologi ini juga telah ditransfer ke PT East West Seed Indonesia (EWINDO) sejak 2008 yang juga menyebabkan perkembangan dan pemanfaatan pesat untuk menghasilkan varietas unggul baru (VUB) berbasis tanaman haploid ganda (Double Haploid-DH). Saat ini, PT EWINDO telah melepas 2 VUB berbasis DH, yaitu Baja dan Baja MC.
"Tahun 2022, target klon-klon baru berbasis DH adalah 50 klon, sementara tahun 2023 target meningkat lebih tinggi menjadi 70 klon. Apa yang dilakukan oleh PT EWINDO memberi bukti bagaimana besarnya dampak pemanfaatan teknologi haploid terhadap pengembangan varietas dan benih unggul cabai nasional," beber Rinda.
Rinda menunjukkan varietas Inata Agrihorti merupakan varietas cabai pertama yang didaftarkan oleh Balitbangtan dan merupakan hibrida silang tunggal hasil persilangan antara Tanjung 2 dengan galur generasi lanjut asal AVRDC yaitu PP 0537 7558. Inata memiliki keunggulan berdaya hasil tinggi dan telah memiliki sertifikat PVT sehingga siap ditawarkan ke pihak swasta untuk dikembangkan.
Dia memaparkan varietas kedua Carla Agrihorti memiliki sifat ketahanan terhadap lalat buah. Perakitannya memerlukan waktu enam tahun dan didaftarkan pada 2020.
"Memiliki sifat ketahanan pasif yaitu tidak/sedikit melepaskan senyawa volatil atraktan lalat buah betina, sehingga diharapkan dapat mengurangi kunjungan lalat buah untuk bertelur di buah cabai," tutur Rinda.
Rinda menuturkan pada 2019-2022, melalui kerja sama Balitsa dan AFACI Korea Selatan dihasilkan varietas bersari bebas dengan nama Canci Agrihorti. Proses perakitan Canci Agrihorti dapat dijadikan contoh atau pembelajaran untuk mendaftarkan varietas cabai asal introduksi.
"D imana varietas cabai asal introduksi hasus melalui serangkaian uji di antaranya uji adaptasi minimal di tiga lokasi di Indonesia," tutur dia.
Selain cabai bersari bebas, melalui kerja sama ini dihasilkan 30 kandidat hibrida cabai/F1 untuk dievaluasi lebih lanjut. Adapun tiga di antaranya telah mendapatkan tanda daftar varietas hasil pemuliaan, yaitu Cafaci Agrihorti 13, Cafaci Agrihorti 14, dan Cafaci Agrihorti 18.
Peneliti Ahli Madya PRHP ORPP BRIN, Rini Rosliani, mengemukakan ada lima kunci untuk menghasilkan cabai optimal yang dikemas dalam satu teknologi produksi lipat ganda cabai. Kelimanya, yaitu varietas unggul, persemaian sehat, kepadatan populasi, pengelolaan hara, dan pengendalian OPT.
Dia mengatakan pemilihan varietas unggul harus sesuai dengan adaptasi varietas terhadap agroekosistem, preferensi petani, dan pasar, produktivitas tinggi tahan terhadap hama dan penyakit. Persemaian sehat yaitu dengan melakukan cara-cara untuk mencegah apa pun yang akan masuk ke persemaian yang dapat mengganggu kesehatan tanaman seperti menggunakan rumah kasa/sungkup untuk tempat persemaian.
"Kepadatan populasi, yaitu dengan pengaturan jarak tanam dan pengaturan jumlah benih per lubang tanam. Kepadatan populasi tanaman dapat ditingkatkan sampai mencapai daya dukung lingkungan. Pengelolaan hara harus dilakukan secara lengkap dan berimbang. Unsur hara yang diperlukan untuk tanaman cabai terdiri dari unsur hara esensial, unsur hara makro primer, unsur hara makro sekunder dan unsur hara mikro," papar Rini.
Peneliti Ahli Madya PRHP ORPP BRIN, Bagus Kukuh Udiarto, mengatakan perlu pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) ramah lingkungan untuk menjawab permasalahan cabai nasional. Dia menyebut permasalahan cabai nasional disebabkan serangan OPT.
Terutama, pada masa produksi cabai pada bulan-bulan hujan, serangan sangat tinggi. Sehingga, produksi sangat menurun dan penggunaan pestisida berlebih.
"Oleh karena itu diperlukan strategi pengelolaan OPT cabai ramah lingkungan dengan menggabungkan varietas tahan, teknik bercocok tanam, pengendalian fisik, pengendalian biologi dan pengendalian kimia terakhir. Adapun implementasi pengelolaan OPT cabai ramah lingkungan dimulai dari pemilihan varietas, dipersemaian, sebelum tanam, setelah tanam," ujar dia.
Baca juga: Jaga Ketersediaan, Peneliti BRIN Jelaskan Pentingnya Memanen Air |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News