Ilustrasi: Medcom/Duta Erlangga
Ilustrasi: Medcom/Duta Erlangga

Pakar IPB Beberkan Fakta Sains di Balik 2 Kali Ramadan pada 2030

Citra Larasati • 29 Maret 2025 07:00
Jakarta:  Pernahkan kamu membayangkan Ramadan terjadi dua kali dalam satu tahun? Jika melihat kalender, fenomena unik ini akan terjadi tahun 2030 nanti lho Sobat Medcom.
 
Bagaimana penjelasan ilmiah dari fenomena ini, khususnya ditinjau dari pendekatan ilmu fisika Guru Besar Fisika Teori IPB University, Prof Husin Alatas mengatakan, bagi fisika, besaran waktu merupakan sebuah misteri yang belum dapat diungkap penjelasannya secara memadai, dan tampaknya tidak akan pernah bisa.
 
“Meskipun demikian, bagi manusia, waktu merupakan sesuatu yang nyata dirasakan setiap hari, yang dirasakan melalui kehadiran perubahan di semua aspek kehidupan. Termasuk perubahan yang terkait dengan fenomena alam tertentu,” ucapnya.

Bagaimana mengukur besaran waktu?

Husin mengurai, untuk menandai dan mengukur besaran waktu, para ilmuwan kerap kali menggunakan fenomena periodik di alam.  “Saat ini, penentu waktu yang sangat akurat dan presisi adalah jam kisi optik yang memanfaatkan transisi frekuensi optik pada atom-atom seperti Ytterbium (Yb), Strontium (Sr) ataupun Aluminum (Al),” ujarnya dikutip dari siaran persnya, Jumat, 28 Maret 2025.

“Penentuan satuan waktu yang akurat memanfaatkan pola turun-naik level energi elektron pada atom-atom tersebut yang sangat stabil,” ucap pengampu mata kuliah Mekanika Lagrange-Hamilton di Departemen Fisika IPB University.
 
Secara tradisional, sejak dulu telah dikenal cara untuk mengukur waktu dengan memanfaatkan fenomena alam yang bersifat periodik, yaitu pergerakan semu matahari.  Rotasi Bumi menjadi dasar penentuan waktu harian.
 
Adapun revolusi Bumi mengelilingi matahari menghasilkan gerak semu matahari yang digunakan untuk penentuan waktu tahunan dan pergantian bulan.  “Selain itu, gerak periodik bulan juga telah lama digunakan untuk penentuan waktu tahunan, terutama dalam kaitannya dengan pergantian bulan pada kalender lunar, seperti kalender Hijriah,” tuturnya.
 
Baca juga:  Kehangatan Ramadan di Negeri Ginseng, Toleransi dan Kebersamaan di Kampus Korea Selatan

Gerak periodik bulan

Berdasarkan penampakannya, gerak periodik bulan dapat diklasifikasikan menjadi gerak periodik sideral dan sinodik.  Gerak sideral bulan adalah gerak revolusi bulan mengelilingi bumi yang diukur berdasarkan posisi relatifnya terhadap objek tetap langit (seperti bintang, galaksi, atau kuasar).
 
“Satu periode sideral diukur ketika bulan kembali pada posisi semula setelah mengelilingi bumi dan lamanya sekitar 27,32 hari. Sementara pada periode sinodik yang dijadikan patokan satu gerak revolusi adalah melalui penampakan fase-fase bulan dengan lama 29,53 hari,” katanya.
 
Lebih lanjut ia menjelaskan, orbit bulan berbentuk elips yang mengelilingi bumi dengan kemiringan sekitar 5,1 derajat terhadap bidang orbit bumi saat mengelilingi matahari. Kemiringan inilah yang kemudian menyebabkan adanya fase-fase bulan, mulai dari bulan baru, sabit muda, purnama, hingga sabit tua.
 
“Perbedaan antara lama periode sideral dan sinodik terletak pada fakta bahwa selain mengorbit bumi, bulan juga mengikuti gerak orbit bumi mengelilingi matahari,” ucapnya.

Kapan terjadinya bulan baru?

Saat bulan baru, bulan berada segaris dengan matahari dan bumi (konjungsi). Ketika bulan mulai bergeser sedikit dari posisi ini, pengamat di bumi dapat melihat sedikit cahaya matahari yang terpantul dari sebagian kecil permukaan bulan. Pantulan ini kemudian menghilang kembali seiring perubahan posisi pengamat.
 
“Pantulan tipis cahaya matahari pada fase bulan baru inilah yang lazim dikenal sebagai hilal yang menjadi penentu awal bulan kalender lunar/Hijriah,” katanya.

Kenapa Ramadan terjadi dua kali setahun?

Terdapat perbedaan 10,88 hari antara tahun matahari (kalender Masehi) dan tahun lunar (kalender Hijriah). Tahun Masehi berlangsung selama 365,24 hari. Sementara panjang tahun lunar dalam kalender Hijriah adalah 354,36 hari.
 
“Karena perbedaan panjang hari tersebut, maka terdapat peluang tanggal satu bulan Hijriah tertentu dapat terjadi dua kali dalam satu tahun matahari, termasuk bulan Ramadan. Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2030 mendatang, akan ada dua tanggal satu Ramadan,” ungkapnya.
 
Lepas dari fenomena bulan baru tersebut, penetapannya dalam kalender Hijriah dapat ditempuh melalui dua cara: perhitungan analitik-matematis yang bersifat prediktif (hisab) dan observasi yang bersifat faktual (rukyat).
 
“Perlu direnungkan bahwa keduanya pada hakikatnya merupakan fondasi utama sains modern saat ini, yakni prediksi dan observasi,” tutupnya. (dr)
 
Prof. Dr. Husin Alatas adalah seorang Guru Besar di bidang Fisika Teoretis yang saat ini menjabat sebagai Kepala Divisi Fisika Teoretis di Departemen Fisika, IPB University. Lahir di Jakarta pada Juni 1971, Prof. Husin menyelesaikan pendidikan Sarjana, Magister, dan Doktor di Institut Teknologi Bandung.
 
Dengan keahlian dalam kosmologi teoretis, fisika kuantum, sistem kompleks, serta optik dan fotonik, Prof. Husin telah menerbitkan lebih dari 60 makalah di jurnal ilmiah terindeks dan berkontribusi dalam pengembangan perangkat pemantauan kualitas udara serta sistem deteksi optik non-invasif untuk kadar glukosa darah.
 
Selain aktif dalam penelitian, ia pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia Optical Society (InOS) dan perwakilan Indonesia di International Commission for Optics. Dengan rekam jejak akademik yang kuat, Prof. Husin terus berkontribusi dalam pengembangan ilmu fisika dan aplikasinya di Indonesia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan