Ilustrasi kayu. ANT/Adeng Bustomi
Ilustrasi kayu. ANT/Adeng Bustomi

Peneliti UGM Kembangkan Bahan Bangunan Pengganti Besi dan Semen dari Kayu untuk Menyerap Karbon

Renatha Swasty • 06 November 2023 21:11
Jakarta: Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) dari Fakultas Teknik dan Fakultas Kehutanan membuat inovasi bahan bangunan berbahan dasar kayu yang terbukti dapat menyerap karbon, alih-alih melepas gas rumah kaca. Sebab, salah satu penyumbang emisi karbon terbesar adalah bangunan atau konstruksi, yakni sebanyak 30 persen dari total emisi karbon dunia.
 
“Besi dan semen ini menyumbangkan emisi yang terbesar. Sementara, semua bangunan gedung di Indonesia ini menggunakan konstruksi besi dan semen. Pemanfaatan bahan bangunan yang renewable dengan emisi karbon yang rendah ini perlu didorong," kata Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI, Diana Kusumastuti, dalam seminar bertajuk “Best Practice of Design and Construction of High-Rise Timber Buldings" dikutip dari laman ugm.ac.id, Senin, 6 November 2023.
 
Diana mengatakan bahan kayu bersifat renewable dan memiliki periode tumbuh yang pendek, 5-10 tahun. Kelebihan material kayu ini bahkan bisa diterapkan pada bangunan gedung.

Pemakaian material kayu sebagai bahan dasar umum bangunan telah lama ditinggalkan, akibat minimnya reboisasi hutan dan tren bangunan berbahan semen. Padahal, bangunan kayu terbukti 40-50 persen lebih ringan dibandingkan dengan bangunan beton dan besi.
 
Sifat kayu sendiri memiliki elastisitas hingga titik tertentu, di mana akan bersifat fleksibel bila diberi tekanan. Hal itu berbeda dengan semen dan beton yang tidak memiliki elastisitas.
 
Kelebihan ini membuat bangunan kayu cenderung lebih tahan terhadap bencana gempa. Tak hanya itu, gedung tinggi yang berbahan dasar kayu bahkan bisa menyerap hingga 3.100 ton karbon. Sebaliknya, bangunan beton justru mengeluarkan sekitar 1.200 ton karbon.
 
Pakar Kehutanan UGM, Tomy Listyanto, mengatakan inovasi penggunaan kembali kayu sebagai bahan bangunan perlu diiringi dengan strategi berkelanjutan. Sebab, Indonesia pernah mengalami deforestasi berlebihan, sehingga seolah-olah menggunakan kayu itu merusak hutan.
 
"Padahal sebenarnya, kayu itu kan produk yang renewable, asal kita menanamnya. Kadang kita panen lupa menanam. Kalau orientasi pasarnya jelas, orang itu mau menanam,"
 
Dia memaparkan Indonesia memiliki hutan produksi terbatas 2,8 hektare, hutan produksi 29,33 hektare, kemudian hutan produksi yang bisa dikonversi 12,79 hektare.
 
"Dan itu kalau kita lihat di indonesia ada rekomendasi untuk hutan produksi, artinya kalau kita menggunakan kayu, area yang dicadangkan untuk produksi kayu itu cukup tinggi,” jelas Tomy.  
 
Dia mengatakan bila menilik tujuan pengurangan emisi karbon dunia, strategi penggunaan bangunan berbahan dasar kayu dapat menjadi alternatif yang berpotensi besar. Namun, saat ini inovasi tersebut perlu dikaji ulang dari segi kebijakan dan aturan pemerintah agar dapat menerapkan pembangunan berkelanjutan.
 
Tomy menyebut produsen bangunan kayu harus tetap memiliki tanggung jawab untuk menanam kembali pohon yang telah ditebang. Kayu yang dipilih sebagai bahan bangunan harus memenuhi standar nasional agar kuat dan aman untuk ditinggali.
 
Rektor UGM Ova Emilia mengatakan bagian dari universitas adalah melakukan research and development bekerja sama antara universitas, industri, dan praktisi. Dia menyebut penting bisa memanfaatkan hal yang dimiliki tetapi juga dapat berpikir dengan konsep berkelanjutan.
 
"UGM mempunyai satu misi yang disesuaikan dengan kondisi global, yaitu dengan adanya perubahan iklim yang membuat kita berubah akan banyak hal,” ucap Ova.
 
Baca juga: Pakar Bioteknologi UGM Temukan Padi Berpigmen Lebih Resisten Terhadap Hama

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan