Menurut Deden, praktik tersebut banyak digunakan sejumlah perguruan tinggi top dunia jika ingin merekrut ilmuwan terbaik. Mereka tidak hanya mengandalkan membuka lowongan semata.
Namun kampus juga aktif menempuh jalan lain seperti menggunakan jasa headhunter. "Di sini itu posisi-posisi seperti direktur research center itu ada konsultan yang di-hire sama mereka untuk menjadi headhunter," terang Deden kepada Medcom.id, Jumat, 9 Juli 2021.
Sebab bagi perguruan tinggi di luar negeri, ketika hanya mengandalkan membuka lowongan, biasanya yang melamar kebanyakan adalah orang-orang yang kurang berkualitas. "Kalau kita ingin cari orang berkualitas, kita pakai headhunter," terangnya.
Baca juga: Diminta 'Pulang Kampung', Ini Jawaban Ilmuwan Diaspora
Tidak hanya itu, keberhasilan merekrut talenta ilmuwan terbaik ini juga sangat bergantung pada visi misi BRIN. "Harusnya BRIN punya visi apa yang mau dikembangkan, baru bikin koordinasi awal apa yang dibutuhkan, baru dicari orangnya. Jangan masuk dulu orangnya baru (pekerjaannya) diomongin," ujar Deden.
Dengan visi misi yang jelas, ia meyakini akan banyak ilmuwan diaspora yang tertarik untuk bergabung. Meski begitu, Deden juga memaklumi bahwa BRIN layaknya lembaga dan kementerian lainnya di Indonesia memiliki keterbatasan regulasi untuk melakukan perekrutan pegawai di luar jalur Seleksi CASN dan CPNS.
"BRIN harus pintar-pintar bikin regulasi untuk memudahkan (pencarian pegawai di posisi strategis). Banyak kok ilmuwan Indonesia yang mau berkontribusi, meski mungkin di luar negeri lebih baik (kesempatannya)," tutup Deden.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News