Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id

Epidemiolog UGM Bicara Soal Akhir Pandemi, Ini Penjelasannya

Citra Larasati • 20 September 2022 12:15
Jakarta:  Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) kembali menyampaikan perkembangan terbaru terkait pandemi covid-19.  Dengan optimis, WHO menyebut dunia saat ini berada dalam posisi terbaik dalam penanganan penularan virus korona.
 
Bahkan Direktur Jenderal (Dirjen) WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pernyataannya mengatakan, akhir pandemi sudah di depan mata.  Sikap optimistis sejumlah badan dan tokoh dunia itu pun sah-sah saja dilontarkan, namun untuk menyimpulkan bahwa pandemi banar-benar akan berakhir harus didalami lagi.
 
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D. mengartikan penyebutan kata "akhir pandemi" ini sebagai pengibaratanm bahwa pandemi covid-19 sudah tidak lagi menjadi perhatian utama banyak pihak atau masyarakat secara luas. Covid-19 tersebut pada kenyataannya masih tetap ada dan transmisinya masih terjadi secara global sehingga akan tetap berlangsung.

“Tidak berarti pandemi itu berakhir kemudian covid tidak ada sama sekali dan tidak ada penularan. Tidak seperti itu, covid-19 tetap ada dan masyarakat akan hidup berdampingan dengan virusnya," ujarnya dilansir dari laman UGM, Selasa, 20 September 2022.
 
Dia menegaskan, sebagai sebuah penyakit penularannya tentu masih tetap terjadi dan akan tetap terjadi secara global. Hanya saja tingkat keparahan penyakit sudah sangat jauh berkurang.
 
Dengan kondisi tersebut kemudian bisa dibilang pandemi sudah tidak lagi menjadi masalah kesehatan di masyarakat.  Pandemi sudah tidak lagi menjadi prioritas kesehatan di masyarakat.
 
Penyakit ini tidak dianggap sebagai ancaman kesehatan masyarakat yang prioritas meski masih ada.
 
“Saya melihat lebih di situnya. Jadi, bukan ancaman yang prioritas lagi, tetap ada penyakitnya dan masih bersirkulasi. Dari waktu ke waktu mungkin nanti juga akan ada semacam tahap-tahap yang seperti kemarin. Akan ada kenaikan kasus dan sebagainya," jelasnya.
 
Secara umum, Riris menyebut omicron relatif menurun. Di saat di Eropa dan Amerika masih cukup tinggi tetapi setelah omicron selesai efek-efeknya lebih ringan dan sebagainya.
 
Pelonggaran-pelonggaran pun dilakukan setelah penyakit ini tidak lagi dianggap sebagai ancaman kesehatan masyarakat.  Apalagi setelah cakupan pemberian vaksin ke masyarakat luas.
 
Bahkan, di Eropa dan Amerika dalam beberapa kasus tidak lagi wajib memakai masker dan jaga jarak.  Kondisi sudah mengarah jika terjadi penularan maka sebagian besar penyakit yang muncul atau infeksi yang terjadi tidak akan menimbulkan kasus-kasus yang bergejala.
 
Atau menimbulkan gejala yang cukup serius yang menyebabkan masalah kesehatan di masyarakat.  Tanda-tanda berakhirnya pandemi menurut Riris memang semakin mendekati kenyataan.
 
Penyakit tidak lagi menimbulkan orang sakit dan tidak membebani sistem kesehatan sehingga pada akhirnya tidak terlalu menjadi masalah.  “Artinya kita terinfeksi tetapi kita tidak sakit, kan tidak perlu ngapa-ngapain tho. Kita tetap beraktivitas, tidak harus ke rumah sakit dan seterusnya. Artinya hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi beban rumah sakit, Puskesmas, atau sistem kesehatan secara luas," terangnya.
 
Riris mengakui situasi saat ini jauh berbeda dengan di awal Maret 2020 saat pemerintah mendeklarasikan pandemi.  Waktu itu pemerintah pun mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mengantipasi dan mengatasi pandemi.  
 
“Saya melihatnya itu sebagai sebuah respons. Tetapi sebagai sebuah penyakit penularan masih tetap terjadi, dan akan tetap terjadi secara global hanya saja keparahan penyakitnya sudah sangat jauh berkurang sehingga kemudian kita bisa mengatakan ini tidak lagi terlalu menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat," imbuhnya.
Baca juga:  Mahasiswa UGM Riset Soal Kelayakan Keuangan Negara Terhadap Pendanaan IKN

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan