“Karena dibuat sendiri maka bahan pasokan tentu saja tidak perlu impor, tidak ada ganguan logistik, tidak ada gangguan harga dan tidak ada gangguan politik,” ujar Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, R. Tedjo Sasmono dikutip dari laman BRIN, Minggu, 23 Juni 2024.
Menurut Tedjo, pandemi Covid-19 telah memberi banyak pelajaran karena sulitnya mencari vaksin, bahkan terjadi perebutan pasokan antara negara. Kemandirian vaksin dapat membuat persoalan tersebut dapat teratasi.
Selain itu, vaksin yang tidak diimpor alias diproduksi nasional, jauh akan lebih menghemat biaya dibandingkan harus membeli dari luar negeri. Pada paparannya berjudul “Dampak Vaksin Buatan Indonesia”, Tedjo juga menyampaikan untuk penyesuaian kebutuhan lokal yang paling relevan bukan hanya virus covid, melainkan penyesuaian varian pathogen.
Dengan skill, keterampilan dan pengetahuan para peneliti menggunakan biologi molekuler sebagai alat. Ketika menguasai suatu alat diharapkan bisa digunakan untuk berbagai macam aspek dari pengembangan bioteknologi pengembangan vaksin. Misalnya dipakai untuk uji klinis dan seterusnya.
Ia menceritakan, saat itu ia dan tim melakukan percobaan pengembangan bersama-sama dengan segala macam keterbatasan yang ada. Riset tersebut menggunakan platform protein rekombinan diekspresikan di yeast dan sel mamalia, yang berhasil menghasilkan seed vaksin yang memenuhi standar industri.
Selain itu, telah dilakukan karakterisasi seed yang meliputi kestabilan genetik, uji fungsi, antigenisitas, serta uji imunogenisitas di hewan coba dengan hasil yang positif.
“Seed Vaksin Merah Putih (VMP) yeast ini siap untuk dihilirisasi dengan mitra industri. Riset vaksin VMP memberikan pengalaman berharga dalam pengembangan vaksin di Indonesia. Potensi vaksin buatan Indonesia perlu terus digali untuk mendukung kemandirian bangsa dalam pengembangan vaksin di masa mendatang,” ujar Tedjo.
Pada kesempatan yang sama, Dominicus Husada, Klinisi RSUD Dr. Soetomo Surabaya mengungkapkan, setelah sekian lama sejak pandemi dinyatakan telah berakhir, sebulan terakhir kasus Covid-19 justru mencapai lebih dari seratus ribu kasus.
Domicus menyampaikan, jika saat ini kasus COVID 19 di dunia masih banyak namun angka kematian sangat sedikit dibandingkan tahun lalu.
Dirinya juga menyampaikan jika dilihat dari aspek klinik makin ke sini virus ini makin tidak seberat dulu. Yang paling berat menurutnya adalah saat adanya varian delta.
Setelah itu virus-virus tersebut variannya mempermudah infeksi tetapi tidak memperberat gejala. Sehingga dalam pedoman WHO tahun lalu yang belum diperbaharui, gejala demam, batuk, kelelahan, anoreksia, sesak adalah hal yang sering kita rasakan hingga saat ini.
“Pandemi ini belum sepenuhnya selesai dan kasus serta kematian jelas terus menurun. Vaksin berperan sangat besar. Lebih besar dari yang diberikan oleh pengobatan atau pencegahan lain yang kita sudah tahu seperti juga penyakit lain dan pandemi Covid 19 ini jelas memberi kita banyak pelajaran berharga,” ujarnya.
Baca juga: Kepala BRIN Pastikan Pemindahan Peralatan Lab Eijkman Sesuai Prosedur
|
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News