Sungging prihatin terhadap pengolahan bijih nikel saat ini. Hal ini dituangkan dalam orasi ilmiah bertajuk Penguasaan Pengolahan Bijih Nikel dan Mineral Logam Lainnya untuk Mendukung Produksi Logam Dalam Negeri yang Berkelanjutan.
“Nikel merupakan logam mineral yang pemanfaatannya sangat menjanjikan, tetapi emisi yang dihasilkan dapat merusak lingkungan,” ungkap Sungging dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 November 2023.
Dalam penelitiannya, ia mengusung proses reduksi langsung sebagai upaya alternatif dalam memproduksi bijih nikel. Proses ini dipilih guna menurunkan penggunaan energi pada pengolahan bijih yang nantinya berimbas pada emisi yang akan dihasilkan.
“Metode ini menghasilkan temperatur operasi yang lebih rendah, sehingga energi yang digunakan lebih efisien,” jelas profesor dari Departemen Teknik Material dan Metalurgi (DTMM) ITS itu.
Tak hanya lebih efisien, produk hasil reduksi langsung memiliki kandungan nikel lebih tinggi akibat penggunaan zat aditif. Berdasarkan penelitiannya, Sungging mendapati gas amonia merupakan salah satu zat aditif dengan efektivitas yang cukup tinggi dalam memaksimalkan kandungan nikel.
“Gas amonia juga lebih murah dibandingkan dengan gas hidrogen yang biasanya digunakan," papar Sungging.
Pada penerapannya, gas amonia akan menghasilkan gas nitrogen dan air seusai proses produksi. Kedua komponen yang bersifat ramah lingkungan ini nantinya dapat diolah kembali untuk menghasilkan gas amonia baru.
“Amat cocok untuk digunakan secara berkelanjutan,” beber profesor yang juga Kepala Laboratorium Pengolahan Mineral dan Material DTMM ITS ini.
Membahas proses produksi bijih nikel lebih dalam, Sungging menerangkan produksi mineral logam menghasilkan limbah padatan dengan jumlah yang terbilang banyak, tak terkecuali nikel. Maka dari itu, sebuah ide cemerlang untuk memanfaatkan limbah padatan nikel guna menangkap CO2 menjadi inovasi cerdas lain yang Sungging tawarkan lewat penelitiannya.
Sungging membeberkan limbah padatan nikel mengandung beberapa senyawa nonkarbonat seperti magnesium, kalsium, dan besi. Ketiga senyawa tersebut akan bereaksi dengan CO2 dan membentuk senyawa karbonat berkestabilan tinggi.
“Nantinya, gas karbon dioksida (CO2) tersebut akan tetap terikat dalam mineral untuk waktu yang lama,” papar alumnus program doktoral dari Tohoku University, Jepang ini.
Dengan mengombinasikan proses reduksi langsung dan pemanfaatan limbah padatan nikel, pengolahan bijih nikel yang efisien energi dan ramah lingkungan tak lagi menjadi angan semata. Langkah ini telah Sungging buktikan secara teoritis layak untuk diterapkan dan dikembangkan.
Namun, inovasi ini tidak akan bisa terealisasi secara massal apabila tidak disertai dengan pemanfaatan teknologi pengolahan mineral yang baik. Sungging
menggarisbawahi langkah-langkah penyuluhan untuk mencapai penguasaan teknologi harus segera dilakukan.
Hal ini dilatarbelakangi sumber daya mineral logam yang tidak dapat diperbarui. “Pemerintah harus segera bergerak untuk menciptakan kebijakan yang dapat membantu pemahaman masyarakat mengenai teknologi,” tegas dia.
Anggota Senat Akademik ITS ini menekankan industri dan akademisi memegang peran yang sangat penting dalam membantu penguasaan teknologi. Dia menyarankan pemerintah perlu meningkatkan kompetensi akademisi juga keterlibatan mereka dalam proses pengolahan bijih mineral.
“Keterlibatan ini bermuara pada kemampuan praktis akademisi yang dapat diwariskan kepada penerus bangsa,” tutur dia.
Dengan begitu, berbagai langkah peningkatan teknologi mineral lain seperti pembangunan pusat riset mineral dan penguatan regulasi atas peningkatan sarana dan prasarana fasilitas riset dapat mengikuti. “Saya berharap inovasi ini dapat memberi kebermanfaatan baik bagi bangsa maupun sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan,” ujar Sungging.
| Baca juga: Guru Besar ITS Kembangkan Metode SCPM dalam Citra Biomedis |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id