Anggota tim dosen peneliti, Yazdi I Jenie menerangkan Airgency merupakan inovasi yang dikembangkan untuk menangani pasien covid-19 di tahap paling kritis. Ventilator ini digunakan ketika pasien telah mengalami disfungsi paru-paru yang menyebabkan tidak dapat bernapas dan membutuhkan alat pernapasan bantu otomatis.
"Teknologi ambu bag dipilih sebab lebih murah dan dapat diproduksi dalam jumlah massal. Apabila dibandingkan dengan ventilator lain yang memiliki harga mencapai ratusan juta, ventilator dengan ambu bag akan memiliki harga jutaan rupiah saja," kata Yazdi melalui siaran pers, Minggu, 26 April 2020.
Yazidi menjelaskan teknologi ventilator dengan ambu bag sebenarnya telah digunakan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Namun, dalam aplikasinya, petugas medis harus menekan ambu bag terus-menerus untuk membantu pernapasan pasien. Ini dapat menyebabkan kelelahan pada petugas medis dan risiko terpapar covid-19 menjadi lebih tinggi.
"Oleh karena itu fokus pada alat Airgency adalah membuat teknologi ventilator dengan ambu-bag yang otomatis dalam pengaplikasiannya dan dapat ditujukan bagi pasien yang harus berpindah ruangan dan tetap menggunakan ventilator," terangnya.
Baca: Pakar UGM: Akhir Pandemi Mundur jika Masyarakat Nekat Mudik
Cara kerjanya, kata dia, menekan ambu bag di awal lalu mengatur kinerja Airgency. Terdapat tiga pengaturan utama Airgency, antara lain pengaturan volume tidal, rasio inhale dan exhale, serta tekanan.
Selain itu, dalam Airgency terdapat fitur keselamatan untuk mendeteksi kegagalan mekanik yang nantinya akan menampilkan trigger warning apabila terjadi kegagalan. Airgency juga dilengkapi fitur backup battery, sehingga apabila terjadi hubungan pendek arus listrik atau ada kerusakan sumber daya, maka sumber daya Airgency akan langsung tergantikan dengan sumber daya baterai.
Airgency juga dilengkapi dengan sistem sensor tekanan untuk mengetahui tekanan yang masuk ke paru-paru manusia, dan ada fitur deteksi pernapasan. Terdapat dua pilihan mode pada Airgency, yaitu mode normal by default, yang artinya Airgency akan memiliki cara kerja seperti automatic resusitator, dan Assisted Breathing Mode untuk membantu pasien yang mengalami kesulitan bernapas dilengkapi pengaturan penggunaan saat pasien ingin bernapas.
Anggota tim dosen peneliti lainnya, Christian Reyner, menambahkan, proses perancangan desain Airgency memakan waktu satu hingga dua pekan sampai pada tahap pembuatan purwarupa. Iterasi dilakukan sebanyak 10 sampai 20 kali hingga didapatkan purwarupa Airgency yang paling tepat.
Selama perancangan desain alat, kata Reyner, tim dosen ITB juga melakukan koordinasi dengan tim RSHS. Purwarupa dari Airgency akan diuji coba dibantu Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK). Menurut Reyner, purwarupa Airgency dalam tahap sertifikasi Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan, tim dokter Universitas Padjadjaran, dan RSHS Bandung selama satu hingga dua minggu.
"Setelah lolos sertifikasi, selanjutnya akan dilakukan produksi sebanyak 10-20 Airgency yang siap digunakan. Untuk pembuatan Airgency dengan skala cukup kecil akan dibutuhkan satu minggu," kata Reyner.
Rencana setelah lolos uji sertifikasi, Airgency akan diuji klinis di RSHS Bandung. Kemudian, Airgency akan mulai diproduksi untuk digunakan di rumah sakit di Bandung dan sekitarnya. Tidak menutup kemungkinan pula Airgency akan diproduksi ke daerah yang mengalami kekurangan alat medis dalam penanganan kasus covid-19.
Selain Yazdi dan Reyner, tim dosen ITB yang mengembangkan alat tersebut yakni Khairul Ummah, Djarot Widagdo dari FTMD ITB, serta Muhammad Ihsan dari FSRD ITB. Dalam proses perancangannya, tim bekerja sama dengan PT Bentara Tabang Nusantara (Beta). Sebelum melakukan perancangan Airgency, tim dosen ITB terlebih dahulu berdiskusi dengan tim dokter Unpad dan RSHS Bandung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News