Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id

UGM Menganalisa Data Digital pada Topik Pinjol dan UKT

Citra Larasati • 06 April 2024 19:35
Jakarta:  Topik Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi salah satu persoalan yang disorot dalam dunia pendidikan tinggi.  Terlebih lagi ketika melibatkan skema pinjaman online (pinjol) sebagai solusi untuk pembayaran UKT di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), tak hanya menimbulkan kontroversi namun juga diskusi panjang.
 
Merespons hal ini, Center for Digital Society (CfDS) merilis serial CfDS Response yang bertajuk “Benarkah Pinjol Menjadi Solusi Mahalnya UKT Mahasiswa?”.  Research Officer CfDS Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, ia dan timnya melakukan penelitian dengan metode analisis data digital dan desk study terkait polemik pinjaman online yang mulai muncul pada 25 Januari 2024.
 
Pada waktu tersebut, akun menfess @itbfess di platform media sosial X memunculkan gambar brosur pinjaman online yang sudah bermitra dengan universitas sebagai program untuk mencicil UKT. “Dari 25 Januari 2024, cuitan terkait UKT dan pinjol mulai marak menjelang Februari akhir karena merupakan periode pembayaran UKT saat itu. Kemudian, isu ini meningkat pada tanggal 4 Februari karena ada salah satu tokoh politik yang mengangkat isu ini untuk diangkat menjadi isu publik,” paparnya dilansir dari laman UGM, Sabtu, 5 Maret 2024.

Berdasarkan hasil riset tim CfDS yang beranggotakan Achmed Faiz Yudha Siregar, Arifatus Sholekhah, Alifian Arrazi, Bangkit Adhi Wiguna, dan Falah Muhammad, sebagian besar tweet menunjukkan kritik atau respons negatif terhadap kebijakan pembayaran UKT melalui pinjol. Mereka melihat kedua respons, baik negatif maupun positif, keduanya sama-sama menunjukkan ketidaksetujuan penggunaan pinjol untuk membayar UKT.
 
“Sejak transformasi PTN menjadi PTN-BH, terjadi tren kenaikan UKT yang signifikan. Pada tahun 1994, 81 persen dana PTN berasal dari APBN. Namun, setelah menjadi PTN-BH, alokasi dana pemerintah turun drastis menjadi 35 persen,” ujar Faiz. 
 
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, biaya pendidikan tinggi di Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan dari 1995 hingga 2022. Kenaikan biaya ini berdampak pada partisipasi yang rendah dari masyarakat miskin dalam pendidikan tinggi, dengan tingkat partisipasi terendah dalam lima tahun terakhir mencapai 12,42 persen. 
 
Menurut Arifatus Sholekhah, Research Officer CfDS UGM, skema yang diberikan oleh beberapa Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) belum tepat.  Seperti contoh skema cicilan internal yang ditawarkan oleh Universitas Indonesia (UI) terbatas hanya untuk mahasiswa program sarjana dan vokasi dan kerja sama platform pinjol Danacita dengan UGM dan ITB yang memiliki bunga 1,60−1,75 persen per bulan.
 
UGM telah menyediakan Beasiswa UGM Tahun 2024 yang dialokasikan dari Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU) tahun 2023 sebagai wujud kepedulian dan komitmen untuk memberikan ruang yang luas bagi generasi muda Indonesia dalam memperoleh pendidikan terbaik di kampus UGM.  Komponen beasiswa berupa bantuan pendidikan senilai UKT atau maksimal Rp4.000.000/mahasiswa/semester untuk periode 2 semester.
 
Tim CfDS juga melakukan studi komparasi pada pinjaman yang diberikan oleh pihak federal dan swasta di Amerika Serikat. Kehadiran pinjaman tersebut belum memperbaiki masalah atas peningkatan biaya pendidikan di sana.
 
Sementara itu, Indonesia masih terdapat ketergantungan pada pinjaman swasta yang disebabkan oleh absennya kebijakan dan skema pinjaman pemerintah. Menurut Achmed, ada kekhawatiran pinjaman swasta mungkin kurang memberikan perlindungan yang memadai bagi debitur, rentan terhadap kemungkinan gagal bayar, dan memiliki ketentuan yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Baca juga: Besaran UKT di UGM Jika Lolos SNBT 2024

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan