“Pelaku industri susu di Australia sudah mulai bereaksi dan mempersiapkan diri untuk menangkap peluang yang sangat signifikan yang akan berdampak besar bagi peternak di Australia,” beber Ronny dalam keterangan tertulis, Jumat, 31 Mei 2024.
Ronny menilai antusias ini sangat wajar karena Australia sudah sejak lama menjadi negara utama pemasok susu dan daging bagi Indonesia. Hal ini karena industri peternakan di sana sudah sangat mapan untuk menghasilkan susu dan daging dalam jumlah besar dan berkelanjutan.
“Jika dihitung secara bisnis, program makan siang dan minum susu gratis di sekolah yang menjangkau 83 juta siswa diperkirakan akan dimulai tahun depan akan menelan dana yang tidak sedikit yaitu mencapai Rp120 triliun,” ujar dia.
Dalam situasi seperti ini, kata Ronny, Australia sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia yang baru untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu untuk melaksanakan program ini.
Dosen Fakultas Peternakan IPB University ini menilai kemungkinan besar program ini dimulai dengan mengimpor sapi perah. Sebab, paling tidak selama satu tahun, Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan susu dalam jumlah besar.
“Ini karena sapi perah harus bunting dan menghasilkan anak dulu baru menghasilkan susu,” papar dia.
Selain itu, persiapan infrastruktur pengolahan susu juga harus dipersiapkan masif. Oleh sebab itu, sangat masuk akal jika pelaku bisnis susu di Australia sudah mengantisipasi akan kebutuhan susu bubuk dan susu UHT dalam jumlah yang sangat besar.
“Walaupun konsumsi susu Indonesia per kapita sangat kecil dibandingkan dengan Australia (Indonesia 15 liter per tahun vs Australia 300 liter per tahun), saat ini Australia menjadi salah satu negara pemasok susu terbesar bagi Indonesia sekaligus menjadi pasar ekspor susu terbesar ketiga bagi Australia dengan nilai paling sedikit Rp1.382.292.000.000 per tahunnya,” ujar Ronny.
Indonesia sudah sejak lama juga mengimpor daging dalam jumlah sangat besar dari Australia. Ronny menyebu bukan hanya sapi hidup, Indonesia juga tercatat sebagai pengimpor daging beku dan jeroan dari Australia.
Tidak tanggung-tanggung, bagi Australia, Indonesia merupakan pelanggan jeroan, seperti paru-paru, lidah, dan jantung, nomor 1 bagi Australia.
“Sebagai gambaran, setiap tahunnya Indonesia mengimpor rata-rata sebanyak 500.000 ekor sapi ke Indonesia dengan nilai mencapai Rp10.718.060.000.000. Bagi Australia, proporsi ekspor daging ke Indonesia mencapai 40 persen dari nilai total ekspor dagingnya,” jelas Ronny.
Menurut dia, Indonesia tambang emas bagi Australia karena di sana pemasaran jeroan dengan sangat ketat. Terlebih, sebagian besar dari jeroan ini dilarang dipasarkan di Australia dengan alasan untuk mencegah penyebaran penyakit.
Dengan cara mengekspor jeroan, Australia menangguk keuntungan yang sangat besar karena jeroan tidak bersaing dengan kebutuhan domestik Australia.
Dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia, kebutuhan daging dan susu Indonesia sangat besar dan sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh produksi daging dan susu dalam negeri.
Oleh sebab itu, sebagai salah satu negara penghasil susu dan daging terbesar dunia, Australia sangat berkepentingan menangkap peluang besar dari program makan siang dan minum susu gratis ini.
“Jadi tidak heran jika Australia merupakan negara paling sumringah dan antusias terhadap program makan siang dan susu gratis ini, karena dapat dipastikan ini akan menggairahkan industri peternakan Australia,” ujar Ronny.
Baca juga: Realisasikan Program Makan Gratis, Pemerintah Bakal Reformasi Pajak |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News