Sekolah penggerak itu pun mendapatkan insentif guna meningkatkan mutu pendidikan. Mulai dari mutu pendidikan sekolah tersebut hingga dapat memberikaan pengaruh baik ke sekolah sekitar.
Namun bagi pengamat pendidikan, Aulia Wijiasih hal tersebut malah berpotensi menimbulkan kesenjangan antarsekolah. Akibatnya, akan terjadi diskriminasi di dalam dunia pendidikan.
"Dari yang zaman kapan itu, mereka dicekoki duit untuk jadi percontohan, pilot, sekolah penggerak, model-model begitu. Sementara sekolah lain yang biasa-biasa diajak untuk meningkatkan mutu tapi anggaran enggak dikasih," ujar Aulia dalam YouTube Vox Populi Institute Indonesia dikutip Senin, 6 September 2021.
Bahayanya, kata Aulia, sekolah yang tidak mendapat bantuan ini, kadang harus mengumpulkan uang dari peserta didik. Uang itulah yang digunakan untuk meningkatkan mutu sekolah.
"Hingga akhirnya diskriminasi tadi, membuat orang tua itu harus saweran biar bisa seperti sekolah yang akredatasi A," sebutnya.
Baca juga: Kemendikbudristek Targetkan 10 Ribu Sekolah Penggerak di 2022
Di situ pula, kata dia, potensi gratifikasi bisa terjadi. Karena sekolah menerima anggaran lain untuk menunjang fasilitas sekolah.
"Ya kalau tidak sekolah yang biasa akhirnya cuma gigit jari. Dia akan terus seperti itu, jadi itu cap seperti itu harusnya tidak ada, karena itu sangat bias," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News