Ilustrasi sekolah. DOK Medcom
Ilustrasi sekolah. DOK Medcom

Beda Perhitungan di Pemerintah Soal Sekolah Bebas Biaya di Swasta, JPPI: Ingin Lari dari Kewajiban

Renatha Swasty • 02 Agustus 2024 12:29
Jakarta: Koordinator Nasional Ubaid Matraji mengkritisi perbedaan perhitungan kebutuhan sekolah bebas biaya di swasta oleh pemerintah. Ubaid menilai pemerintah ingin lari dari tanggung jawab.
 
“Perhitungan versi pemerintah yang beda-beda dan memunculkan angka yang ratursan triliun ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin lari dari kewajiban konstitusional dan mendramatisir kebutuhan terlalu besar, seakan-akan tidak mungkin untuk dilakukan,” kata Ubaid dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Jumat, 2 Agustus 2024.
 
Hal ini mengemuka dalam sidang lanjutan Nomor 3/PUU-XXII/2024 perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Mahkamah Konstitusi (MK). JPPI menggugat tafsir sesat sekolah bebas biaya pada Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, dalam keterangannya di sidang menyebut biaya sekolah siswa swasta dapat mencapai belasan kali lipat lebih besar dibandingkan dengan biaya sekolah siswa negeri. Standar pelayanan minimal di sekolah negeri dialokasikan Rp24,9 juta per siswa, sementara itu, di sekolah swasta, biayanya bisa mencapai Rp200 juta per siswa.
 
Perhitungan ini berbeda dengan versi Kemendikbudristek. Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Vivi Andriani dalam paparannya di hadapan majelis hakim mengatakan pemerintah butuh dana tambahan sebesar Rp418 triliun untuk bisa menggratiskan SD-SMP negeri dan swasta.
 
“Perbedaan angkanya jauh sekali. Kemendikbudristek bilang Rp418 triliun sudah bisa gratiskan semua, sementara versi Bappenas uang Rp200 juta baru bisa biayai satu anak di sekolah swasta. Bappenas dan Kemendikbudristek terlihat tidak punya standar yang jelas dan panduan yang sama tentang bagaimana cara menghitung biaya pendidikan," tegas Ubaid.
 
Ubaid mengungkapkan Bappenas tidak memerinci kebutuhan angka Rp200 juta per siswa. Sementara itu, perhitungan Kemendikbudristek dengan kebutuhan dana tambahan Rp418 trilliun berdasarkan sejumlah hal.
 
Mulai dari biaya sarana dan prasarana, kebutuhan rehabilitasi, peralatan, laboratorium dan perpustakaan, hingga penambahan sekolah dan ruang kelas baru.
 
“Jika mengikuti perhitungan Kemendikbudristek, maka tambahan dana Rp418 triliun itu akan digunakan untuk menampung semua anak Indonesia di sekolah negeri. Kalau begini, bagaimana nasib sekolah swasta? Pasti banyak yang gulung tikar," kata Ubaid.
 
Dia menyebut apabila diterapkan, pasti mendapat perlawanan dari sekolah-sekolah swasta. Apalagi keberadaan sekolah swasta sudah lebih dahulu ada ketimbang sekolah negeri.
 
"Pasti akan lebih rumit dan problematik. Belum lagi soal tambahan dana Rp418 itu diperoleh dari mana? Bangun sekolah negeri baru dan penambahan ruang kelas baru itu butuh berapa tahun lagi untuk bisa menampung semua anak di sekolah negeri? Pasti butuh waktu yang tidak singkat,” ujar dia.
 
Ubaid mengatakan JPPI mempunyai perhitungan lebih jelas. Dari hasil perhitungan, negara hanya membutuhkan Rp84 triliun untuk menggratiskan anak-anak yang sekolah di swasta dari jenjang SD-SMA.
 
Basis perhitungannya adalah biaya uang pangkal, SPP, dan kegiatan sekolah. Besaran komponen ini sudah diperhitungkan berdasarkan dua komponen utama dalam pembiayaan sekolah swasta, yakni biaya investasi dan biaya operasional (personalia dan non-personalia).
 
Dia menyebut agar sekolah bebas biaya bisa terlaksana dan tidak mematikan sekolah swasta, skema yang perlu dilakukan pemerintah adalah pelibatan sekolah swasta dalam skema pembiayaan. Kebijakan pemberian soal dana BOS untuk sekolah swasta harus dilanjutkan.
 
Sebab, dana BOS hanya bisa menutupi kebutuhan operasional sekolah swasta. Sementara itu, untuk menutupi biaya investasi dan personalia dapat digunakanlah dana tambahan Rp84 triliun.
 
“Dengan perhitungan seperti ini, anak Indonesia bisa sekolah tanpa dipungut biaya dari SD sampai SMA. Sementara kebutuhan tambahan dana Rp84 triliun itu sangat mungkin dieksekusi dengan melakukan realokasi anggaran 20 persen dari APBN sesuai dengan skala prioritas menunaikan kewajiban konstitusional dalam Pasal 31 UUD 1945,” ujar dia.
 
Pada persidangan, Amich Alhumami juga memaparkan terkait partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Amich mengatakan ditinjau dari kinerja pembangunan pendidikan, partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar sudah mencapai kategori Tuntas Paripurna untuk SD/MI/Sederajat (APK 105,62 persen) dan Tuntas Utama untuk SMP/MTs/Sederajat (APK 92,51 persen).
 
Ubaid menilai penjelasan itu seakan-akan semua anak sudah sempurna bisa sekolah. Bahkan, angkanya melampaui 100 persen.
 
Mestinya, kata dia, data disajikan secara fair dan ditampilkan semua. Mulai dari Angka Partisipasi Kasar (APK), APM (Angka Partisipasi Murni), dan juga Anak Tidak Sekolah (ATS).  
 
“Jika semua data disajikan, maka akan terlihat ternyata masih ada jutaan anak-anak Indonesia yang sekolah saja tidak bisa. Maka, istilah tuntas paripurna dan tuntas utama ini terkesan hanya untuk mengelabui masalah. Padahal, kenyataannya masih belum tuntas dan masih banyak anak tidak bisa sekolah,” tegas Ubaid. 
 
Baca juga: JPPI: Pemerintah Cuma Perlu Rp84 Triliun untuk Wujudkan Sekolah Bebas Biaya di Swasta

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan