"Pada prinsipnya, setiap laporan harus kami terima karena kami belum mengetahui kebenarannya. Kami meyakini bahwa siapa pun yang mencari teman untuk berbicara akan mendapatkan tempat untuk berbicara, yang selama ini tidak tersedia. Oleh karena itu, kami memberikan ruang untuk berbicara," kata Ketua Satgas PPKS Universitas Padjadjaran, Antik Bintari, saat menjadi pembicara dalam dialog interaktif bertema Mewujudkan Ruang Intelektual yang Bebas dari Kekerasan Seksual, Jumat, 6 Oktober 2023.
Antik menjelaskan tingkat kekerasan seksual yang tinggi di kampus menuntut tindakan strategis. Penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 yang mengamanatkan pembentukan Satgas PPKS di setiap perguruan tinggi adalah langkah penting.
Antik juga menjelaskan bahwa apa pun yang dilaporkan, baik itu kasus acak atau terstruktur, tidak masalah. Yang terpenting pelapor merasa dilecehkan atau merasa bahwa ada masalah. Selanjutnya, ada proses pemeriksaan dan keadilan yang melibatkan pelapor, saksi, dan terlapor.
"Prioritas tetap pada pelapor, namun terlapor juga berhak mendapatkan dukungan, terutama jika mereka juga memerlukan layanan psikologis," kata dia.
Semakin kuat lewat regulasi
Langkah-langkah progresif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus semakin kuat dengan implementasi UU TPKS. Beleid ini bertujuan memberikan keadilan dan melindungi korban.Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, menekankan peran semua pihak dalam memastikan suksesnya sosialisasi dan implementasi UU TPKS serta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
"Kita terus secara simultan melengkapi berbagai peraturan yang sangat teknis sesuai konteks atau lokus di mana tindak pidana kekerasan seksual terjadi," kata Ratna.
Masyarakat harus aktif melaporkan
Co-Founder Rahasia Gadis, Dhika Himawan, mengatakan komunitas perempuan dan individu harus aktif memberikan edukasi terkait kekerasan seksual. Harus aktif pula membuka pos-pos pengaduan, mempromosikan zero tolerance terhadap kekerasan seksual, dan memberikan dukungan kepada korban untuk pulih dari trauma."Kami selalu mendengarkan pengalaman yang sering dialami oleh mereka (anggota komunitas Rahasia Gadis). Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering muncul karena ada stigma yang telah tertanam di pikiran mereka. Misalnya, seseorang yang sedang berpacaran mungkin bertanya apakah tindakan seperti menggandeng tangan dianggap kekerasan seksual," kata Dhika.
Co-Founder Rahasia Gadis, Adelle Odelia Tanuri, juga menekankan pentingnya sosialisasi edukasi. Terutama memberikan pemahaman terkait kekerasan seksual serta membuka ruang-ruang bagi korban untuk melaporkan apa yang telah dialami dengan jaminan keamanan bagi korban.
"Masyarakat harus mendukung korban dan memahami kerentanan yang mereka alami," kata Adelle.
Kasus tinggi
Kasus kekerasan seksual di kampus tercatat tinggi. Survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada tahun 2020 mencatat sebanyak 27 persen dari keluhan kekerasan seksual dilaporkan berasal dari perguruan tinggi.Kekerasan seksual di lingkungan kampus melibatkan pelaku dari berbagai profesi, seperti dosen, tenaga kependidikan, pejabat perguruan tinggi, dosen pembimbing skripsi dan tesis, serta mahasiswa dan mahasiswi sendiri. Kejadian ini dapat terjadi selama proses belajar-mengajar, kegiatan unit mahasiswa, bimbingan, dan kuliah kerja nyata.
Baca: Curhat Satgas PPKS: Belum Ada Kepercayaan hingga Tak Didukung Kampus
Pemerintah mendorong masyarakat aktif melaporkan kejadian kekerasan seksual melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08-111-129-129 sangat diperlukan. Pemerintah berharap kerja kolektif masyarakat dapat menciptakan ruang intelektual yang bebas dari kekerasan seksual untuk mendukung perempuan dalam pengembangan diri dan kompetensi mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News