"Padahal, manipulasi data dengan cara pindah Kartu Keluarga ( KK) tidak akan mudah terjadi jika sistem kependudukannya ketat, melalui mekanisme kontrol aparat kelurahan, kecamatan, dan dinas dukcapil. Apalagi sampai 20 anak dengan orang tua berbeda masuk dalam satu KK. Harusnya hal ini dapat diantisipasi dari awal oleh jajaran terkait," kata tulis FSGI dalam keterangan tertulis, Senin, 10 Juli 2023.
FSGI menyebut Kemendikbudristek menerapkan kebijakan PPDB Sistem zonasi sudah ada sejak 2017 atau sudah berlangsung 7 tahun. Awalnya, beragam permasalahan kependudukan dan penyebaran sekolah tidak merata menjadi persoalan tertinggi.
Namun, seiring waktu hal tersebut sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan baik oleh sejumlah daerah. Seperti memperkuat sistem di Dukcapil agar tidak terjadi manipulasi terkait data kependudukan.
Kalau kota Bogor masih mengalaminya maka seharusnya Kepala Daerahnya mengevaluasi jajaran kelurahan, kecamatan dan Dukcapil, yang jelas di bawah kewenangan Kepala Daerah, bukan menyalahkan sistem PPDB Zonasinya yang sudah 7 tahun dan sudah mulai diterima luas di masyarakat.
Kepala Daerah dapat segera mengevaluasi jajaran terkait dan jatuhkan sanksi pada jajarannya jika ditemukan manipulasi data kependudukan yang melibatkan jauaran birokrasi.
"Seharusnya masalah klasik seperti ini sudah dapat diatasi selama 5 tahun menjabat, karena kelurahan, kecamatan, dan dinas Dukcapil merupakan anak buah langsung kepala daerah," tegas FSGI.
FSGI mengatakan setelah tujuh tahun PPDB Zonasi diterapkan, sejumlah kepala daerah sudah menambah jumlah sekolah negeri. Misalnya Kota Bekasi menambah 7 SMPN, Kota Tangerang menambah 9 SMPN, Kota Pontianak menambah 1 SMAN, Kota Depok menambah 1 SMAN, DKI Jakarta menambah 10 SMKN, dan lainnya.
Hal tersebut dilakukan karena kepala daerah sadar sekolah negeri tidak banyak dan tidak merata penyebarannya, terutama SMP, SMA dan SMK. Sementara itu, SDN jumlah relatif terpenuhi.
"Yang menyadarkan kepala daerah menambah jumlah sekolah negeri adalah setelah kebijakan PPDB Zonasi. Membangun sekolah negeri baru juga dapat dijadikan ukuran kesungguhan kepala daerah untuk memenuhi hak atas pendidikan warganya, yang tentu saja ada pemilihnya," tulis FSGI.
Pemerintah Pusat melalui APBN juga menganggarkan pembangunan sekolah negeri bila pemerintah daerah mengusulkan dan memiliki lahan yang sesuai standar nasional pendidikan. Pemerintah pusat hanya membangun gedung, sedangkan tanah harus disediakan pemerintah daerah.
FSGI mengatakan sebelum PPDB sistem zonasi diterapkan di Indonesia, jumlah sekolah negeri masih minim dan penyebarannya tidak merata. Saat PPDB sistem zonasi diterapkan, selain menambah jumlah sekolah, sejumlah daerah menginisiasi berbagai cara untuk memenuhi hak atas pendidikan.
Misalnya, Pemprov DKI Jakarta menerapkan PPDB bersama SMA dan SMK swasta yang pembiayaan peserta didik baru hingga lulus dicover melalui APBD. Pemprov Sumatera Utara menerapkan zonasi khusus bagi calon peserta didik baru yang di zona tempat tinggalnya tidak ada sekolah negeri.
"Ketika sudah 7 tahun penerapan kebijakan PPDB sistem zonasi, banyak kepala daerah melalui dinas-dinas pendidikan memutar otak untuk meminimalkan masalah, potensi kecurangan, dan juga minimnya sekolah negeri," kata FSGI.
Apalagi, saat ini mayoritas publik sudah dapat menerima PPDB sistem zonasi meski ada kekurangan. Namun, sistem ini disebut jauh lebih berkeadilan dan mendorong pemerintah pusat dan daerah membangun sekolah negeri baru tanpa membunuh sekolah swasta yang sudah berkontribusi lama bagi pendidikan selama ini.
Baca juga: Bima Arya Sebut Sistem Belum Siap untuk Zonasi PPDB, Ini Sebabnya |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News