“KemenPPPA mengecam keras perbuatan guru yang melakukan pemerkosaan terhadap tujuh siswanya. KemenPPPA menegaskan tidak ada toleransi atau zero tolerance terhadap pelaku kekerasan seksual. Karena itu, kami mengharapkan pelaku mendapat hukuman maksimal sesuai aturan berlaku dan akan mengawal kasus ini hingga tuntas,” tegas Deputi Perlindungan Khusus Anak, Nahar, dalam keterangan tertulis, Kamis, 10 Maret 2022.
KemenPPPA meminta aparat penegak hukum memberikan hukuman sesuai aturan perundang-undangan. Nahar menyebut bila terbukti memenuhi unsur Pasal 76D Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pelaku dapat dijerat Pasal 81 ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan, pelaku dapat dihukum maksimal berupa pidana mati, seumur hidup, atau penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Nahar menyebut status pelaku sebagai pendidik juga dapat ditambahkan 1/3 dari ancaman pidana serta dapat diberikan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Serta diberikan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Polres Purbalingga cepat merespons kasus ini dengan menangkap pelaku. Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT PKBGA) Purbalingga juga terus memantau korban.
“Tentunya kami memberikan apresiasi untuk respons cepat ini dan mengharapkan terus dilakukan upaya-upaya yang diperlukan agar keadilan ditegakkan,” kata Nahar.
Nahar mengatakan KemenPPPA telah berkoodinasi dengan Satuan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (SPT PPA) Provinsi Jawa Tengah. Hal itu untuk memastikan penjangkauan, asesmen awal, dan pendampingan proses hukum oleh PPT PKBGA Purbalingga dan Unit PPA Polres Purbalingga.
“Kami juga telah mencatat PPT PKBGA menjadwalkan pendampingan dan konseling psikologis kepada korban serta rencana penjangkauan ke sekolah korban untuk deteksi dini keberadaan korban-korban lain yang masih belum berani melapor,” kata Nahar.
Nahar menegatakan kasus ini menunjukkan urgensi peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sesuai amanat Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Kemen PPPA juga mendorong Kemendikbudristek menyosialisasikan Permendikbud ini dan menerapkan audit kepada seluruh dinas pendidikan serta sekolah-sekolah.
KemenPPPA juga menilai perlu edukasi seksual diberikan kepada anak agar tidak terjerumus dalam hubungan seks bebas atau tindakan kriminal. Seperti melakukan pemerkosaan atau kekerasan seksual dan lebih penting mencegah tidak menjadi korban kejahatan seksual.
“Dengan diberikannya edukasi seksual yang disertai dengan nilai-nilai agama dan moral, remaja dapat mengerti dengan konsep menghargai tubuh mereka dan tubuh orang lain dengan tidak menyentuh atau melecehkan orang lain. Anak dan remaja diajarkan tentang konsep consent, di mana mereka berhak menolak orang lain untuk menyentuh tubuh tanpa persetujuan mereka,” kata Nahar.
Hal ini berlaku juga untuk orang tua atau keluarga. Sebab, tidak jarang pelaku kekerasan dan pelecehan seksual adalah orang tua atau keluarga terdekat.
Nahar menekankan kembali untuk mengajarkan anak berani melawan kekerasan seksual. Baik ketika mengalami ataupun melihat agar segera melaporkan kepada guru, orang tua atau masyarakat sekitar.
Baca: Janjikan Duit, Sopir Bajaj di Duren Sawit Mencabuli Bocah di Bawah Umur
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News