Perubahan disruptif itu membawa pada kehidupan yang penuh ketidakpastian. Sehingga, memerlukan cara berpikir baru, cara belajar baru, dan cara bekerja baru.
Dia mengatakan Islam mengajarkan untuk menghadapi dinamika perubahan itu. Arif mengatakan ada empat pilihan untuk menghadapi perubahan, yaitu sebagai pemimpin perubahan, pengikut perubahan, penonton perubahan, atau penentang perubahan.
"Bila kita menginginkan kemajuan dalam kendali kita, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjadi
pemimpin perubahan," kata Arif saat menyamapaikan khotbah dalam Salat Idulfitri di Kampus IPB Baranangsiang, Sabtu, 22 April 2023.
Namun, pemimpin perubahan bukanlah sebuah posisi. Melainkan, mentalitas keteladanan untuk selalu berinovasi yang berdampak positif pada terjadinya perubahan sosial.
Arif menyebut ada empat cara menghadapi perubahan sosial, yaitu:
Pertama, komitmen untuk terus menghasilkan legacy atau karya-karya nyata yang berdampak pada peningkatan kemaslahatan dan kemajuan. Komitmen dan tekad kuat (will power) inilah yang oleh Ibnu Taimiyah sebagai iradah yang merupakan pendorong aktivitas manusia.
"Iradah yang disertai kemampuan baik akan menghasilkan aktivitas yang baik pula. Tentu aktivitas yang baik adalah yang menghasilkan karya baik yang berdampak pada perubahan sehingga menjadi sebuah legacy," papar dia.
Kedua, orientasi kebaruan dan future practice. Di tengah kompetisi global seperti sekarang ini legacy yang baik adalah yang antisipatif terhadap masa depan. Arif menyebut perlu ada karya-karya baru yang bersifat future practice.
"Orientasi pada kebaruan dan future practice inilah yang membuat kita punya mentalitas sebagai pencipta," tutur dia.
Arif menyebut wujud konkret dari ciri kita sebagai pencipta adalah hadirnya inovasi-inovasi, baik
inovasi teknologi maupun inovasi sosial, yang memang sangat diperlukan di tengah perubahan disruptif. Dia mengatakan sudah menjadi rahasia umum negara menjadi maju secara ekonomi bila memiliki skor Global Innovation Index yang tinggi.
Artinya, masyarakat di negara maju memiliki mentalitas sebagai pencipta yang berorientasi future practice. Bangsa Indonesia akan semakin maju bila masyarakat juga punya mentalitas pencipta.
Ketiga, kerja keras dan berkualitas. Arif mengatakan untuk menciptakan legacy yang membawa manfaat besar dan impactful diperlukan kerja keras dan berkualitas.
"Kerja keras adalah modal kita untuk sukses. Riset T. Stanley menunjukkan bahwa dalam 100 faktor sukses, maka kerja keras berada di urutan ke-5, lebih tinggi dari sekadar IQ, prestasi sekolah, atau tempat di mana kita sekolah," papar dia.
Hal yang ditemukan Stanley sama dengan konsep yang ditawarkan Angela Duckworth dalam bukunya GRIT, yaitu kegigihan yang diiringi dengan passion kuat akan menjadi faktor sukses bahkan bisa mengalahkan bakat. Ini membawa optimisme meski kurang berbakat namun bila memiliki kerja keras atau grit maka akan membawa kita kepada kesuksesan.
"Kerja keras akan menghasilkan karya besar bila diiringi dengan komitmen pada kualitas," ujar Arif.
Kerja ikhlas akan menjelma dalam passion kerja yang tinggi, yang secara saintifik terbukti akan membawa kesuksesan. Sementara itu, kerja cerdas didasarkan pada akumulasi pengetahuan yang mendasari bentuk dan model kerja kita agar efektif dan efisien, sehingga kerja cerdas mensyaratkan mentalitas pembelajar.
"Perintah wahyu pertama adalah iqra. Membaca adalah komponen penting dalam belajar dan belajar adalah komponen penting untuk meraih ilmu pengetahuan," tutur dia.
Keempat, mindset baru. Arif menuturkan dalam QS An-Najm:39 menyebut “Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
Dia menyebut ini menjadi motivasi untuk terus mengusahakan apa yang menjadi visi, mimpi, dan cita-cita. Apabila kita kerja keras dan berkualitas maka cita-cita akan dapat diraih.
"Motivasi yang kuat sangat dipengaruhi mindset yang baik," tutur Arif.
Terkait mindset ini, Carol Dweck menjelaskan pentingnya kita memiliki growth mindset. Mindset ini mengajarkan tentang keyakinan kita bisa berubah. Kita bisa mengubah kemampuan, bakat, kebiasaan, dan bahkan IQ.
Orang yang memiliki growth mindset umumnya optimistis, percaya diri, pembelajar, punya grit, dan pekerja keras. Sebaliknya, orang yang memiliki fixed mindset percaya dirinya sulit berubah.
Baginya, seolah kemampuan, kebiasaan, bakat, dan IQ adalah fixed, dan tidak bisa berubah. Sehingga, ketika ia menemui kegagalan, akan berpikir inilah batas kemampuannya.
"Sementara itu orang yang memiliki growth mindset kalau pun gagal masih menganggap bahwa kegagalan karena kesalahan strategi dan kesalahan belajar sehingga ia akan belajar dari kegagalannya untuk kembali bangkit," papar Arif.
Baginya, kegagalan adalah kesempatan untuk semakin tumbuh. Seorang yang memiliki growth mindset akan selalu mengambil hikmah dari setiap
peristiwa.
"Dengan growth mindset kita belajar untuk bersikap positif atas kejadian yang kita hadapi. Sikap positif ini akan berdampak pada menguatnya optimisme dalam berbagai hal dan optimisme adalah modal untuk kemajuan." ujar Arif.
Ketua ICMI itu yakin dengan empat cara tersebut akan menjadi khoirunnaas, manusia terbaik yang terus menebar manfaat untuk kemakmuran bumi. Dan hal itulah wujud syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada manusia.
Sehingga, tanggung jawab sebagai hamba Allah yang terus menjalin hablu minallaah, hablu minannaas, dan hablu minal alam dapat dijalankan dengan maksimal. Namun, kata dia, hal itu semua tidak bisa sendiri dan harus bersatu, bersinergi, dan berkolaborasi.
"Idulfitri bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat persatuan kita untuk kepentingan bangsa yang lebih besar. Mari kita tebar gagasan dan inspirasi untuk kemajuan bangsa. Mari kita satukan langkah untuk menciptakan legacy-legacy baru untuk kemajuan bangsa. Mari kita wujudkan Indonesia sebagai baldatun toyyibatun warabbun ghofuur," ujar Arif.
Baca juga: Idulfitri, Nadiem: Semangat Kemenangan Ini untuk Buat Lompatan Besar Bagi Kemajuan Pendidikan |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News